
Padahal gangguan stres pasca trauma, gangguan mental dan gangguan perilaku yang berkaitan dengan hubungan langsung antara paparan terhadap faktor risiko yang muncul akibat aktivitas pekerjaan juga telah diakui sebagai penyakit akibat kerja dalam Peraturan Presiden No 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja.
Selain itu, perusahaan dan pemberi kerja juga punya kewajiban melakukan pengukuran dan pengendalian faktor psikologi seperti diamanatkan oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no 8 tahun 2018 Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Mereka diwajibkan untuk melakukan pengendalian, beberapa di antaranya dengan program kebugaran bagi tenaga kerja dan juga mengadakan konseling bagi pekerja.
Minimnya Pengawasan
Namun dalam praktiknya, pengawasan bagi perusahaan atau pemberi kerja yang tidak menjalankan amanat dari peraturan tadi masih sangat minim. Hal itu juga dikonfirmasi oleh dr Olin Aditama, salah satu staff Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan. Ia mengatakan bahwa secara prinsip memang ada fungsi pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh kementerian tempatnya bekerja. Perusahaan atau pemberi kerja yang tidak melakukan pengukuran dan pengendalian, lanjut Olin akan diberi nota pengawasan ketenagakerjaan satu dan dua hingga dikenakan sanksi secara administratif.
Tapi pengawasan terkait pelanggaran ketenagakerjaan termasuk juga yang berkaitan dengan K3 masih sangat minim. Hal itu salah satunya disebabkan karena timbangnya jumlah pengawas ketenagakerjaan.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan hingga triwulan IV tahun 2020, tercatat terdata 1.686 pengawas ketenagakerjaan di seluruh Indonesia. Sementara jumlah perusahaan hingga tahun 2021 berdasarkan Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP) Online telah mencapai 343 ribu perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja mencapai 9,4 juta orang. Artinya setiap satu orang pengawas ketenagakerjaan, harus mampu mengawasi sekitar 203 perusahaan.
Ketimpangan jumlah pengawas tadi yang juga menjadi sorotan Ketua Umum SINDIKASI Nuraini. Ia mengatakan bahwa selama ini keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan memang selalu menjadi pembenaran dari pihak pemerintah. Terlepas dari itu Nura mengatakan bahwa perspektif K3 yang dimiliki oleh perusahaan dan juga pemerintah masih lebih sering menitikberatkan pada kesehatan fisik.
Mengakui Kesehatan Mental dalam Undang-Undang K3
Oleh sebab itu, lanjut Nura, sejak pertama kali berdiri di tahun 2017, SINDIKASI menjadi salah satu serikat yang terus mengadvokasi isu kesehatan mental sebagai bagian dari kerja layak. Nura mengatakan bahwa karakteristik pekerja di industri media dan kreatif, termasuk teknologi cukup berbeda dengan pekerja di manufaktur. Sehingga kerentanan yang muncul juga berbeda.
Baca Juga: Survei: Pandemi COVID-19 Bikin Resiko Kesehatan Tubuh Lebih Kompleks

“Sebagai pekerja immaterial kami lebih banyak memproduksi pengetahuan, informasi dan juga komunikasi, isu K3 yang kami alami bukan lagi hanya kesehatan fisik yang berkaitan alat produksi, atau kondisi tangannya terpotong atau kena alat produksi,” ujar Nura.