Leronlimab merupakan antibodi yang menempel pada reseptor kekebalan yang terlibat dalam peradangan CCR5.
Peserta dipilih secara acak untuk menerima suntikan antibodi mingguan atau plasebo salin selama delapan minggu. Selama periode itu, para peneliti melacak perubahan dalam 24 gejala yang terkait dengan long Covid-19.
Dalam laporan tersebut, para peneliti awalnya mengira telah memblokir CCR5 dengan Leronlimab akan melemahkan respons sistem kekebalan yang terlalu aktif setelah infeksi Covid-19.
"Tapi kami menemukan yang sebaliknya," kata Yang.
"Pasien yang membaik adalah mereka yang memulai dengan CCR5 rendah pada sel T mereka, menunjukkan sistem kekebalan kurang aktif dari biasanya, dan tingkat CCR5 sebenarnya meningkat pada orang yang membaik," imbuhnya.
Temuan tersebut mengarah pada hipotesis baru bahwa long Covid-19 pada beberapa orang terjadi akibat sistem kekebalan yang terlalu tertekan, bukan hiperaktif.
Para peneliti menyarankan, peran kompleks untuk CCR5 dalam menyeimbangkan efek inflamasi dan anti-inflamasi, misalnya melalui sel pengatur T.
Juru bicara Infectious Diseases Society of America Dr. Aaron Glatt, yang tidak terlibat dengan penelitian tersebut, mengomentari temuan itu. Menurutnya, studi pendahuluan ini menyajikan informasi baru yang menarik mengenai sindrom jarak jauh Covid-19.
"Pada saat ini, pemahaman kita tentang patogenesis long Covid-19 masih belum jelas. Studi ini mendukung dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menyelidiki mekanisme potensial yang berbeda," ujarnya.
Baca Juga: Penyintas COVID-19 Disarankan Tetap Konsumsi Vitamin Saat Menjalani Puasa di Bulan Ramadhan
Sementara itu, penulis penelitian mengakui kalau hasil studi masih perlu dikonfirmasi dalam penelitian yang lebih besar dan lebih definitif.