Suara.com - Tidak bisa dipungkiri saat ini banyak program kesehatan yang digencarkan di masyarakat, mulai dari Cek Kesehatan Gratis, Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat), screening PTM (penyakit tidak menular), dan lain-lain.
Meski demikian, aplikasi program serta konsep kesehatan dalam masyarakat masih kurang maksimal. Peneliti sekaligus penulis buku Sehat Setengah Hati, Dr Ray Wagiu Basrowi menjelaskan, dalam penelitiannya sejak 2019, berbagai program serta konsep kesehatan yang ada masih paradoks alias bertentangan dengan keadaan masyarakat sesungguhnya.
“Artinya ini melihat bahwa meskipun konsep kesehatan sudah benar-benar dipahami dan sudah ada di semua strata kehidupan, tapi sebagai manusia berdasarkan penelitian yang kami lakukan sejak 2019 bahwa perilaku orang Indonesia itu masih paradoks atau berlawanan dengan konsep kesehatan yang sebenarnya,” jelas Dr Ray dalam diskusi media dan pemaparan Sehat Setengah Hati, Rabu (28/5/2025).
Hal-hal tersebut yang akhirnya membuat kepercayaan masyarakat dengan program maupun konsep keseharan tidak penuh alias setengah hati. Pasalnya, kepercayaan masyarakat tidak diiringi dengan perilaku yang sesuai.
“Padahal orang Indonesia sudah mempercaya bahwa vaksin bisa mencegah penyakit, kemudian olahraga bisa menurunkan risiko diabetes hipertensi dan juga lain sebagainya tapi konsep health belief model membuktikan bahwa barrier orang Indonesia untuk berperilaku baik itu jauh lebih besar,” sambungnya.
Oleh sebab itu, menurut Dr Ray, sebesar apapun negara investasi di bidang kesehatan akan menjadi sia-sia jika tidak adanya kepercayaan dari masyarakatnya. Apalagi, beberapa masyarakat merasa kondisi tubuhnya masih sehat dan baik-baik saja.

“Sebesar apa pun investasi negara dalam bidang kesehatan akan sia-sia bila masyarakat tidak merasa rentan, tidak yakin terhadap manfaatnya, atau terus merasa ‘masih muda, masih sehat, belum perlu periksa,” ungkap Dr Ray.
Untuk itu, konsep kesehatan yang baik ini perlu ada komunikasi yang baik. Hal itu akan membantu membuat program kesehatan yang nantinya diciptakan berimbang dengan kepercayaan masyarakat.
Melihat kondisi tersebut, melalui penelitiannya Dr Ray juga menuangkannya dalam buku terbaru berjudul “Sehat Setengah Hati - Interpretasi Paradoks Health Belief Model” yang diliuncurkan Kamis (28/5) di Jakarta.
Baca Juga: Jadi Penyebab Utama Kematian, AstraZeneca dan Kemenkes RI Fokus Tangani Penyakit Tidak Menular
Melalui buku ini, Dr Ray ingin mengajak Kementerian Kesehatan dan semua pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan pendekatan Health Belief Model dalam desain, pelatihan kader, dan strategi komunikasi perubahan perilaku.
Bukan cuma itu, dengan bukunya ini ia juga berharap adanya kesadaran kesehatan yang lebih baik dari masyarakat.
"Kalau kita hanya bergerak karena takut, kesadarannya temporer. Tapi kalau didorong oleh pemahaman dan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang sekitar, itu akan tertanam dalam dirinya sendiri,” jelasnya.
Tentang Dr Ray Wagiu Basrowi

Ray Wagiu Basrowi, yang lahir pada 7 Juli 1977 di Manado, adalah seorang peneliti, dokter komunitas, dan pakar nutrisi asal Indonesia. Ia dikenal sebagai pendiri sekaligus ketua dari Health Collaborative Centre (HCC).
Selain itu, Ray juga mengajar di Program Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan aktif dalam berbagai organisasi ilmiah serta kegiatan sosial.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 1995, Ray melanjutkan kuliah di Universitas Sam Ratulangi melalui jalur prestasi bernama Tumou Tou, tanpa perlu mengikuti ujian masuk. Kemudian, pada tahun 2010, ia melanjutkan studi magister di FKUI, dengan fokus pada kedokteran kerja.
Tesisnya membahas topik laktasi dan nutrisi untuk ibu bekerja. Pada tahun 2019, ia memulai pendidikan doktoral di FKUI dengan disertasi mengenai pengembangan model promosi menyusui di lingkungan kerja di Indonesia.
Ray memulai karier di dunia media saat masih menjadi mahasiswa kedokteran pada tahun 2000, dan tercatat pernah menjadi reporter dan pembawa acara program kesehatan di TVRI Manado dan Smart FM.
Ia menyelesaikan pendidikan dokter umum pada 2003, kemudian bekerja di instalasi gawat darurat di Manado dan Jakarta. Sejak 2004, ia bergabung di sektor nutrisi dan farmasi.
Setelah menyelesaikan program doktor pada Juni 2019, ia mendirikan Health Collaborative Centre (HCC) sebagai lembaga nirlaba untuk mempromosikan serta mengadvokasi isu-isu kesehatan masyarakat dan kedokteran komunitas di Indonesia.