Menanggapi respons SBY, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto justru melayangkan kritik terhadap petinggi Demokrat itu. Hasto balik menyindir, bahwa SBY dahulu pada Pemilu 2008 pernah mengubah sistem pemilu proporsional tertutup ke proporsional terbuka mendekati waktu Pemilu yang notabene tidak boleh ada perubahan mendadak.
“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review. Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang Pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” kata Hasto dalam keterangannya dikutip Senin (20/2/2023).
Bahkan, lebih lanjut Hasto menuding langkah SBY tersebut demi mendongkrak suara Partai Demokrat di Pemilu.
“Sehingga dengan melakukan segala cara akhirnya Partai Demokrat mengalami kenaikan 300 persen, bayangkan dengan PDI perjuangan yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen," kata Hasto.
Terbuka Atau Tertutup, Politik Uang Tetap Marak
Pengamat Politik dari Universitas Siliwangi (Unsil) Kota Tasikmalaya, Taufik Nurohman menilai sebenarnya perdebatan tersebut hanya persoalan rasionalistas masing-masing partai saja. Menurutnya, tidak ada cerita perdebatan tersebut untuk kepentingan rakyat.
"Tidak ada jaminan, pemilih memilih calon yang benar-benar ia kenal. Buktinya politik uang semakin marak saat pemilu (sistem proporsional) terbuka," katanya saat dihubungi Suara.com, Rabu (4/1/2023).
Bahkan, penerapan sistem proporsional terbuka sendiri bisa jadi memicu tingginya angka korupsi di kalangan legislatif.
"Bisa jadi (pemicu korupsi), Karena butuh pengembalian modal dulu," ujarnya.
Baca Juga: Legislator Golkar: Sistem Pemilu Tertutup Berangus Fungsi Aspirasi Anggota DPR
Tak hanya itu, ia juga menilai dengan menggunakan sistem proporsional terbuka maka caleg akan lebih banyak mengeluarkan modal dibandingkan proporsional tertutup.
"Selain untuk lobi-lobi di internal parpol, caleg juga harus mengeluarkan modal untuk langsung bertemu dengan calon pemilihnya. Kalau tertutup, caleg mengeluarkan modalnya cuma buat lobi-lobi internal parpol, karena bertemu sama calon pemilih menjadi kurang penting," ujarnya.
Namun, ia mengemukakan, jika hak pilih memang ditentukan oleh rakyat memang lebih baik menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Secara sederhana, kalau hak pilih itu diberikan secara paripurna sama rakyat ya, lebih baik terbuka. Perkara banyak konsekuensinya itu lain cerita," ujarnya.
Meski begitu, ia mengemukakan, kedua sistem tersebut baik proporsional tertutup atau terbuka memiliki konsekuensi. Bahkan memiliki peluang yang sama dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
"Kedua-duanya (sistem proporsional terbuka dan tertutup) punya konsekuensi yang sama. Juga punya peluang yang sama untuk penguatan demokrasi di indonesia. Dengan catatan harus bener ngejalaninnya," katanya.