Perang Urat Saraf Elite Partai: Pemilu Terbuka Atau Tertutup, Seolah Demi Rakyat

Erick Tanjung Suara.Com
Jum'at, 24 Februari 2023 | 21:56 WIB
Perang Urat Saraf Elite Partai: Pemilu Terbuka Atau Tertutup, Seolah Demi Rakyat
Ilustrasi Pemilu 2024 (Foto oleh Element5 Digital/Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Di sisi lain, Hasto mengatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka dapat memicu liberalisasi politik serta mendominasi peran kapital. Oleh karenanya, PDIP lebih mendukung sistem proporsional tertutup.

Pernyataan Hasto yang menyerang SBY ditanggapi oleh Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Menurutnya Hasto telah menuduh tanpa disertai fakta.

Ia kemudian menyinggung Harun Masiku, kader PDIP yang menjadi buron kasus suap pemilu anggota DPR RI periode 2014-2019. "Hasto selalu menuduh Pemilu 2009 di era Pak SBY curang. Padahal, fakta kecurangan pemilu jelas-jelas terjadi di Pemilu 2019. Pelakunya kadernya Hasto, bernama Harun Masiku, dan masih buronan sampai dengan saat ini," kata Herzaky dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/2).

Herzaky lantas mengaku khawatir banyak sosok Harun Masiku lain yang muncul jika pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup. Ia juga menyindir PDIP masih sakit hati lantaran kalah pada Pemilu 2009. Ia  membandingkannya dengan sikap Demokrat yang lapang dada saat gagal di Pemilu 2014 dan 2019.

Rekam Jejak Gugatan Sistem Pemilu

Gugatan sistem pemilu di era SBY yang dimaksud Hasto itu didaftarkan sebagai perkara nomor 22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU-VI/2008. Penggugat perkara nomor 22 adalah M. Sholeh, calon legislatif dapil 1 Jawa Timur dari PDIP.

Sementara untuk perkara nomor 24, penggugatnya berasal dari Partai Demokrat yang menjadi caleg dapil VIII Jawa Timur. Mereka adalah Sutjipto dan Septi Notariana. Lalu, Jose Dima Satria sebagai pemilih pada Pemilu 2009 pun turut serta.

Adapun aturan yang difokuskan, yakni Pasal 214 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Jika pemilihan caleg ditentukan berdasarkan nomor urut, maka yang menerima suara terbanyak, belum tentu bisa memperoleh kursi di DPR.

Kala itu, sistem pemilihan masih memakai Kuota Hare yang identik dengan bilangan pembagi pemilih atau BPP. Di mana untuk meraih kursi di DPR, caleg pun wajib mengumpulkan BPP lebih dari 30 persen.

Baca Juga: CEK FAKTA: Rocky Gerung Bongkar Aib Megawati, Balasan Atas Kezaliman yang Dilakukan Ketum PDIP, Benarkah?

Sholeh dan penggugat lainnya merasa keberatan dengan sistem pemilihan seperti ini. Mereka khawatir, penentuan caleg tidak lagi murni atas pilihan rakyat, namun berdasarkan dari kesukaan petinggi partai politik. Gugatan itu lantas menerima kontra.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI