Suara.com - Nasib partai berbasis agama yang menjadi peserta Pemilu pada tahun 2024 mendatang diperkirakan bakal semakin mengecil. Bahkan angka dukungannya hanya tidak sampai 20 persen dari total jumlah pemilih.
Menurut Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ade Mulyana berdaasarkan sejarah sejak digelarnya Pemilu pada Tahun 1955, potensi dukungan kepada partai berbasis Islam pada Pemilu 2024 menjadi yang terkecil.
"Potensi partai-partai Islam di 2024 berdasarkan hasil survei LSI, secara keseluruhan potensial dukungannya menurun. Bahkan, potensial dukungannya terkecil sepanjang sejarah pemilu demokratis di indonesia (sejak pemilu 1955)."
"Dari hasil survei, perolehan total suara partai islam potensial di bawah 20 persen," katanya saat dihubungi Suara.com Rabu (22/3/2023).
Ia mengungkapkan, rendahnya potensi dukungan terhadap partai politik berbasis massa Islam bukan disebabkan kemunculan partai-partai baru yang ada saat ini.
Justru, ia menariknya ke belakang, yakni dari sejarah politik Indonesia, terutama di era Orde Baru. Selain itu, beberapa faktor penunjang lainnya yang membuat suara partai berbasis agama juga ikut tergerus.
"Penyebab utama partai islam suaranya terpuruk adalah depolitisasi islam yang berhasil di era Orde Baru, tidak adanya capres yang berlatar belakang santri yang kuat, dan tidak adanya inovasi dari partai islam yang dapat mendongkrak suara mereka," ujarnya.
Hal tersebut berkebalikan dengan partai berbasis nasionalis yang hingga saat ini masih dominan dalam percaturan politik Indonesia.
Tokoh Kuat
Baca Juga: Pilpres 2024 Diprediksi Muncul Lebih dari Dua Pasangan Calon Capres-Cawapres
Ade menyebut, elektabilitas partai nasionalis lebih baik karena memiliki tokoh yang kuat, bahkan dalam kandidat kepemimpinan nasional seperti Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono, Ganjar Pranowo hingga Prabowo.
"Selain itu, partai nasionalis juga mempunyai segmen pemilih yang lebih besar daripada pemilih partai islam. Dan partai nasionalis cenderung mempunyai logistik yang lebih besar dibanding partai islam," ujarnya.
Melihat dari kondisi tersebut, ia mengemukakan, mau tak mau partai islam harus rela dipimpin tokoh dari partai nasionalis dalam koalisi mengusung capres dan cawapres.
"Sedangkan untuk suara capres memang tidak selalu berbanding lurus dengan suara partai yang mengusung karena untuk capres lebih ditentukan oleh penilaian sosok atau figur capres itu sendiri," katanya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan masih bertahannya politik identitas yang akan berpotensi menjadi gesekan pada Pemilu 2024 mendatang, Ade meyakini masih ada dan bisa jadi 'dimainkan'. Namun, ia berharap tidak ada gesekan yang keras seperti dua pemilu belakangan.
"Politik identitas itu pasti masih akan dimainkan di pemilu 2024 mendatang. Tapi kita berharap semoga tidak menimbulkan gesekan yang begitu keras seperti pada dua kali pemilu sebelumnya," ujarnya.