Di sisi lain, partai berideologi nasionalis justru memiliki calon presiden yang lebih eksis di mata publik. Ambil contoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari partai Demokrat, Joko Widodo dari PDI Perjuangan serta Prabowo Subianto dari partai Gerindra.
Ade mengungkapkan, rendahnya potensi dukungan terhadap partai politik berbasis massa Islam bukan disebabkan kemunculan partai-partai baru yang ada saat ini.
Justru, ia menariknya ke belakang, yakni dari sejarah politik Indonesia, terutama di era Orde Baru. Selain itu, beberapa faktor penunjang lainnya yang membuat suara partai berbasis agama juga ikut tergerus. "Penyebab utama partai Islam suaranya terpuruk adalah depolitisasi Islam yang berhasil di era Orde Baru. Lalu tidak adanya capres yang berlatar belakang santri yang kuat, dan tidak adanya inovasi dari partai islam yang dapat mendongkrak suara mereka," ujarnya.
Survei bertajuk 'Mengecilnya Partai Berbasis Islam' ini dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang. Data dikumpulkan sejak 4 Januari hingga 14 Januari 2023. Teknik pengumpulan datanya melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner dengan margin of error ± 2,9 persen.
Berebut Pasar Pemilih
Ade juga menilai partai politik nasionalis mempunyai suatu keunggulan yang tidak dimiliki oleh partai berbasis Islam yakni terbuka dengan segmentasi pemilih yang lebih luas. "Partai nasionalis cenderung mempunyai logistik yang lebih besar dibanding partai Islam," terang Ade kepada Suara.com, Rabu, 22 Maret.
Senada dengan Ade, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai partai Islam semestinya harus membuka keran bagi para pemilih non-Muslim, seperti warga Kristiani, Budha, Hindu, Konghucu atau komunitas penghayat lainnya. "Artinya di sini tidak terlalu kaku untuk menjadikan Islam sebagai alat politik, kasusnya kalau masih seperti itu ya agak sulit untuk bisa menampung pemilih yang non-Muslim," ujar dia.
Di samping itu, dia berpandangan partai politik berbasis Islam kerap berada di luar pemerintah dan melempar kritik-kritik pedas. Namun kritik tersebut tidak diimbangi dengan solusi atas permasalahan.
Terlebih, menurut Wasisto, belakangan sudah terjadi pergeseran pemilih partai politik berbasis Islam. Pada Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009, mayoritas pemilih partai Islam berasal dari kalangan Nahdliyin atau warga Nahdlatul Ulama.
Baca Juga: Datangi Jokowi di Istana, Puan Ajak Bicara Soal Bagaimana Pemilu Bisa Terlaksana Tepat Waktu
Di rentang tahun 2009 sampai 2014, para pemilih partai Islam didominasi dengan pemilih beraliran Islam populis. "Itu memang menguntungkan Partai Keadilan Sejahtera dalam hal ini," ungkap Wasisto.