Suara.com - Mikhael Raja Muda Bataona, seorang analis politik dan pengajar Ilmu Komunikasi Politik serta Teori Kritis di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, menyatakan bahwa keputusan Partai Demokrat untuk mendukung Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 adalah sebuah langkah untuk menentang identitas partai itu sendiri. Identitas yang selama lima tahun terakhir dianut adalah pro perubahan dan keinginan untuk mengganti rezim.
"Dalam analisis yang cermat, mendukung Prabowo adalah tindakan menentang identitas asli Demokrat. Mengapa? Karena Prabowo dengan jelas mengklaim dirinya sebagai penerus Jokowi, bahkan secara besar-besaran mempromosikan dirinya sebagai pengganti Jokowi," ujar Mikhael Bataona di Kupang pada Selasa terkait keputusan politik Partai Demokrat.
Menurutnya, identitas Capres Prabowo Subianto tidak berbeda jauh dengan Ganjar Pranowo, keduanya memiliki pandangan yang pro terhadap program-program dan kebijakan Jokowi. "Jadi, yang dialami oleh Demokrat adalah seperti berada di atas bara yang sudah mereka nyalakan selama ini," tambahnya.
Dengan kata lain, mendukung Prabowo akan membuat mereka merasa tersiksa dan canggung karena tindakan ini seakan melawan jati diri mereka sendiri.
"Mereka seperti sebuah orkestra politik, di mana para pemainnya terjebak dalam satu peran. Mereka tidak dapat berkreasi. Mereka bingung. Identitas Demokrat adalah 'pro perubahan', untuk mengganti rezim, dan menentang Jokowi, bukan untuk melanjutkan dan mendukung Jokowi," kata Bataona, dikutip dari Antara.
Oleh karena itu, keputusan ini berisiko dan berpotensi membingungkan para pemilih, terutama mereka yang setia kepada Partai Demokrat.
"Kita bisa menganalisis bagaimana hal ini akan berdampak ke depan, karena dengan mendukung Prabowo, secara otomatis Demokrat harus mendukung visi dan misi Prabowo yang jelas-jelas pro Jokowi dan melanjutkan semua program Jokowi," tambahnya.
Apakah AHY dan SBY akan mempromosikan hal ini? Keputusan untuk mendukung Prabowo ini berisiko karena dengan langkah ini, AHY terutama, yang selama setahun terakhir, terutama sejak bulan Oktober tahun 2022, telah terbuka dan secara berulang kali mengkritik kebijakan-kebijakan Jokowi.
Dia secara terbuka mengkritik semua kebijakan Jokowi, menganggapnya sebagai program yang ugal-ugalan dan tidak pro-rakyat, termasuk dalam pembangunan jalan tol, dan hal lainnya. SBY juga melakukan hal serupa. Dalam banyak kasus, mereka secara terang-terangan menyentil pemerintahan Jokowi.
Baca Juga: Dekat dengan Gus Miftah, Prabowo Raih Suara Pendukung Jatim
"Inilah yang menurut saya membuat keputusan politik ini tampak kurang didasarkan pada rasionalitas, lebih ke arah fungsionalitas dan pragmatisme. Atau lebih tepatnya, merupakan pilihan 'tak ada akar, rotan pun jadi.'