Dunia Menyambut Prabowo, Presiden ke-8 Republik Indonesia

Senin, 19 Februari 2024 | 11:48 WIB
Dunia Menyambut Prabowo, Presiden ke-8 Republik Indonesia
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pidato politiknya dalam acara Mengawal Suara Rakyat di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Suara.com - Banyak orang senang mendengar lagu-lagu lama. Tak pernah bosan meski diputar berulang-ulang. Tak ketinggalan dengan Pilpres 2024. “Lagu lama” soal kecurangan pemilu, bergema merespons kemenangan telak sekali putaran Prabowo-Gibran.

Tudingan dan kecurigaan itu bisa dipahami. Bagaimana pun, kemenangan Prabowo-Gibran adalah sejarah dalam politik demokrasi Indonesia, khususnya di era reformasi. Untuk pertama kalinya kontestasi pilpres yang berisi pertarungan lebih dari dua paslon dimenangkan hanya dengan sekali putaran.

Namun, jika dilihat dengan kacamata holistik, seperti kata Profesor Mahfud MD, tuduhan kecurangan adalah lagu yang biasa didendangkan oleh mereka yang kalah. Secara puitik bahkan dapat dikatakan, menuduh curang adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh mereka yang kalah. Pendapat Prof Mahfud ini sungguh layak didengar dan mestinya tidak dilupakan.

Kisah serupa sebenarnya bisa kita temukan di berbagai penjuru dunia. Pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2020 misalnya, kubu Donald Trump secara konsisten dan masif mengatakan kemenangan Joe Biden sebagai bentuk kecurangan. Tuduhan itu bahkan belum berhenti sampai sekarang.

Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche menyebut perilaku semacam itu sebagai slave mentality atau “mental budak”. Alih-alih berlapang dada mengakui kekalahan, mereka yang bermental budak (bukan bermental kesatria) akan mencari ribuan pembenaran dan penyangkalan atas kekalahannya.

Ini ibarat orang yang tidak mampu membeli mobil mewah. Alih-alih bekerja keras agar bisa membeli mobil mewah seperti tetangganya, ia justru menyebut tetangganya sedang pamer kekayaan dan bersikap sombong.

Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. (tangkap layar)
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. (tangkap layar)

Narasi Kecurangan

Dalam perspektif intelijen, narasi kecurangan yang dituduhkan kepada Prabowo-Gibran saat ini telah masuk ke tahap intensifikasi. Ada empat langkah yang sedang dan telah dilakukan. Pertama, kubu 01 dan 03 membuat siaran pers yang memberi sinyal-sinyal ke masyarakat bahwa kecurangan itu ada.

Merespons hasil quick count, kubu 01 dan 03 terlihat menggunakan narasi yang nyaris seragam. Seolah-olah kemenangan sekali putaran Prabowo-Gibran tidak mungkin terjadi. TPN Ganjar-Mahfud bahkan melempar sinyal seolah-olah akan menggandeng Timnas AMIN untuk mengusut berbagai dugaan kecurangan di Pilpres 2024.

Baca Juga: Gerak-gerik Asing Guyur Rp4 Triliun ke Saham RI Usai Prabowo Unggul Real Count KPU

Kedua, media sosial dibanjiri dengan berbagai konten yang menunjukkan kecurangan pemilu. Dulu, Menteri Propaganda Nazi Paul Joseph Goebbels menggunakan teknik semacam ini. Prinsip dari teknik Goebbels adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan.

Ketiga, dibuatnya pemberitaan bahwa dunia internasional tidak menerima kemenangan Prabowo-Gibran. Terlihat adanya upaya untuk mengamplifikasi berbagai headline pemberitaan media asing yang menggunakan diksi-diksi negatif terhadap Prabowo-Gibran. Strategi ini jelas menggunakan prinsip inferiority complex. Diksi-diksi negatif itu seolah valid, hanya karena diberitakan oleh media-media asing.

Keempat, meskipun belum terjadi, namun bau-baunya sudah tercium. Dikhawatirkan tahap intensifikasi akan menuju pada tahap eksploitasi dalam beberapa pekan ke depan. Mereka yang tidak menerima hasil Pilpres 2024 akan melakukan berbagai demonstrasi penolakan. Modus operandi seperti ini juga terlihat di Pilpres Amerika Serikat 2020.

Singkatnya, tuduhan kecurangan sangat mungkin akan terus bergema sampai pelantikan resmi di bulan Oktober nanti. Oleh karenanya, saya akan menggunakan pengukuran yang lebih objektif dalam melihat kemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024, yakni pengakuan negara lain.

Ucapan Selamat Dunia: Legitimasi Objektif

Pengakuan negara lain atau negara sahabat adalah legitimasi objektif. Saya mengatakan objektif karena negara-negara tersebut jelas bukan partisan. Mereka bukan kubu 01 atau kubu 03 yang menjadi kompetitor Prabowo-Gibran. Kemudian, ini yang terpenting, ucapan selamat tidak mungkin disampaikan secara sembarangan oleh suatu negara.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI