Suara.com - Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik mengakui dirinya sempat melakukan kunjungan kerja ke Kuala Lumpur, Malaysia bersama anggota KPU lainnya, Mochammad Afifuddin.
Namun, dia menegaskan kunjungan tersebut tidak berkenaan dengan penetapan 7 panitia pemilihan luar negeri (PPLN) Kuala Lumpur sebagai tersangka dalam kasus dugaan penambahan daftar pemilih.
“Benar bahwasaya bersama Gus M Afifuddin itu melakukan kunjungan khusus ke PPLN Kuala Lumpur,” kata Idham di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2024).
“Di sana, kami berdiskusi tentang rencana penyelenggaraan pemungutan suara ulang (PSU). Jadi, tidak membahas sama sekali berkaitan dengan proses hukum,” tambah dia.
Sekadar informasi, KPU dan Bawaslu telah bersepakat untuk tidak menghitung suara pemilih pos dan KSK di Kuala Lumpur. Sebab, daftar pemilihnya akan dilakukan pemutakhiran ulang.
PSU tersebut rencananya akan dilakukan dengan metode kotak suara keliling (KSK) pada 9 Maret 2024 dan metode pencoblosan di tempat pemungutan suara atau TPS pada 10 Maret 2024.
Bawaslu menemukan hanya sekitar 12 persen pemilih yang dilakukan proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh PPLN Kuala Lumpur dari total sekitar 490.000 orang dalam Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kementerian Luar Negeri.
Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif sebanyak 18 orang.
Akibatnya, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) atau pemilih yang tak masuk dalam daftar pemiluh tetap (DPT) membeludak pada hari pemungutan suara hingga sekitar 50 persen di Kuala Lumpur.
Baca Juga: MK Putuskan Ambang Batas Parlemen 4 Persen Harus Diubah, Cak Imin: Memang Harus Begitu
Bawaslu bahkan sempat mengungkapkan ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seharusnya dikirim untuk pemilih melalui pos.
Diketahui, Polri menetapkan semua PPLN Kuala Lumpur sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Pemilu berupa penambahan jumlah pemilih di Kuala Lumpur, Malaysia.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan penetapan status tersangka ini berdasarkan gelar perkara yang dilakukan pada 28 Februari 2024.
"Menambah jumlah yang sudah ditetapkan ditambah lagi jumlah (tersangka). (Per hari ini) 7 tersangka," kata Djuhandani Rahardjo Puro dalam keterangannya, Kamis (29/2).
Tujuh orang PPLN tersebut dijerat dengan Pasal 545 dan/atau Pasal 544 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Terjadi di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia dalam kurun waktu sekitar tanggal 21 Juni 2023 sampai dengan sekarang," ujar Djuhandani.