“Di era Presiden Joko Widodo, pariwisata ditempatkan sebagai sektor unggulan, selain infrastruktur, maritim, pangan dan energi,” sebut VJ.
Faktanya memang demikian. Pariwisata sudah dijadikan sebagai leading sector pembangunan nasional, karena pertumbuhan penerimaan devisa pariwisata adalah yang tertinggi, yaitu mencapai 13 persen.
Jumlah ini sangat kontras bila dibandingkan dengan penerimaan devisa dari minyak dan gas bumi, batu bara, serta minyak kelapa sawit, yang pertumbuhannya negatif. Demikian juga dengan penerimaan negara dari karet olahan, pakaian jadi, alat listrik, makanan olahan, tekstil, kertas dan barang dari kertas, kayu olahan dan bahan kimia, yang performance-nya sedang lesu dan turun.
“Hanya pariwisata yang naik, dari US$ 10 miliar pada 2013, lalu naik menjadi US$ 11 miliar pada 2014, dan naik lagi menjadi US$ 12,6 miliar pada 2015. Industri ini cenderung naik, karena berkelanjutan. Pemerintah Indonesia sangat serius mengembangkan pariwisatanya,” ujar VJ.
Jika dibandingkan dengan negara lain, daya saing Indonesia pun meningkat. Pada 2015, dibandingkan Singapura dan Malaysia, dua negara yang menjadi rival utama, pertumbuhan turis Indonesia naik lebih besar. Malaysia turun 15,7 persen, Singapura naik 0,9 persen, sementara Indonesia naik 10,3 persen, yaitu menjadi 10,4 juta wisman.
“Jadi tak perlu ragu lagi dengan komitmen Presiden Jokowi untuk membangun 10 Beyond Bali. Kami konsisten. Jadi kalau ke Indonesia, jangan hanya sampai ke Bali saja. Sempatkan juga berwisata ke 10 beyond Bali,” ajak VJ.
Selain kawasan-kawasan wisata yang tadi disebutkan, Indonesia juga memiliki Raja Ampat-Papua, Mentawai-Sumatera Barat, Nias-Sumatera Utara, dan masih banyak lagi.
“Ada banyak tempat bagus di Indonesia. Ada Papua, Sumatera, Jawa, Sulawesi. Budayanya juga sangat beragam, banyak yang unik. Silakan eksplor Indonesia lebih jauh,” ajak Nadjib di depan para pelaku pariwisata Australia hingga Menteri Perdagangan dan Investasi Australia Selatan.