Wujudkan Pariwisata Ramah Anak di Masa Pandemi, Apa yang Perlu Dilakukan?

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Senin, 25 Oktober 2021 | 14:30 WIB
Wujudkan Pariwisata Ramah Anak di Masa Pandemi, Apa yang Perlu Dilakukan?
Liburan keluarga. (Shutterstock)

Suara.com - Meningkatnya minat melakukan liburan perlu dibarengi dengan semangat wisata yang ramah anak.

Untuk mewujudkan pariwisata ramah anak, Asdep Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Fitra Andika Sugiyono, mengatakan langkah awal dalam melindungi anak di destinasi wisata dari kekerasan dan eksploitasi adalah dengan meningkatkan kesadaran dari semua pihak.

"Ini adalah kerja bersama, mulai dari pemerintah sampai masyarakat bahkan ke anaknya. Kita harus mendengar dan melihat apa kebutuhan anak," kata Fitra dikutip dari ANTARA.

Dengan menyebarkan kesadaran itu, praktik-praktik eksploitasi anak yang selama ini dianggap lazim dapat dicegah dan dihentikan.

Ilustrasi liburan keluarga. (Shutterstock)
Ilustrasi liburan keluarga. (Shutterstock)

"Kesadaran dan kolaborasi serta sinergi bersama sangat penting," katanya.

Wisata yang ramah anak mengedepankan keharmonisan nilai kultural dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat dengan aktivitas kepariwisataan serta punya sistem dan mekanisme untuk melindungi anak-anak yang ada di destinasi wisata terbebas dari segala bentuk eksploitasi.

Ini adalah kondisi dimana anak-anak yang ada di destinasi wisata tidak jadi pekerja anak yang membahayakan tumbuh kembangnya, tidak jadi objek eksploitasi secara seksual oleh para turis, domestik atau mancanegara.

Fitra menuturkan, fenomena kasus kekerasan dan eksploitasi anak di daerah wisata bagai gunung es, hanya sebagian kecil kasus yang dilaporkan dan diselesaikan secara tuntas. Praktik kekerasan dan eksploitasi seksual anak yang dilakukan wisatawan berlangsung di sejumlah destinasi wisata dengan memanfaatkan fasilitas pariwisata.

Ini merupakan kejahatan yang dilakukan individu atau terorganisir untuk memanfaatkan anak-anak di destinasi wisata untuk pemenuhan ekonomi maupun seksual. Kejahatan ini secara terselubung terjadi di berbagai belahan dunia, tak cuma Indonesia.

Baca Juga: Destinasi Wisata Bandung Barat dan Bandung Selatan, dari Sungai Sampai Pegunungan

"Maka, perlu dibangun perspektif kolaborasi sehingga situasi fenomena ini lebih disadari oleh masyarakat dan tercipta upaya kreatif dan menarik dalam memerangi eksploitasi anak di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan," kata Fitra.

Berdasarkan hasil penelitian dan asesmen oleh ECPAT Indonesia bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2016-2017 di 10 destinasi wisata, ditemukan fakta praktik kekerasan dan eksploitasi seksual oleh wisatawan terhadap anak-anak.

Destinasi wisata yang diteliti adalah pulau Seribu di DKI Jakarta, Karang Asem di Bali, Gunung Kidul di Yogyakarta, Garut di Jawa Barat, Bukit Tinggi di Sumatera Barat, Toba Samosir dan Teluk Dalam di Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil penelitian ECPAT (Ending The Sexual Exploitation of Children) Indonesia pada 2015, kasus kekerasan dan eksploitasi seksual anak yang dilakukan wisatawan juga terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Kefamehahu Nusa Tenggara Timur dan Jakarta Barat.

Anak-anak terjebak dalam situasi perkawinan di bawah umur, pelacuran, pornografi daring dan perdagangan seks.

Dikutip dari data hasil peantauan kasus eksploitasi seksual komersil anak pada Januari - Maret 2019 dari ECPAT, ada 37 kasus eksploitasi seksual dan kekerasan anak dan hampir setengahnya adalah prostitusi. Pelaku didominasi orang dewasa pada 24 kasus atau 65 persen dari total kasus. Korbannya didominasi anak perempuan, yakni 97 persen. Kejadian ini paling banyak terjadi di provinsi Lampung, Riau, Jawa Timur, Jawa Barat dan Bali.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI