Suara.com - Beberapa bulan terakhir ini, dunia media dan media sosial diramaikan dengan perilaku anak “pejabat” yang melakukan tindakan semena-mena terhadap rekannya.
Sebut saja kasus Mario Dandy Satriyo, anak seorang pejabat di kantor pajak yang menganiaya Cristalino David Ozora Latumahina hingga koma dan Aditya Hasibuan yang merupakan anak AKBP Achiruddin Hasibuan, perwira polisi di Polda Sumatera Utara (Sumut) yang menganiaya Ken Admiral.
Parahnya lagi, penganiayaan disaksikan dan dibiarkan oleh sang ayah. Hal ini menjadi sorotan publik sekaligus mengundang banyak komentar dan pendapat yang berfokus kepada permasalahan pendidikan karakter.
Melihat fenomena itu, Sekolah Putra Pertiwi, salah satu sekolah unggulan di Tangerang Selatan, provinsi Banten, melihat permasalahan tersebut harus diberi perhatian serius.
Pasalnya, dunia pendidikan salah satu komponen yang memegang peranan penting dalam pembentukan karakter.
Mengambil waktu dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional, yang jatuh pada 2 Mei, Sekolah yang menyediakan jenjang pendidikan dari SD sampai SMK ini mengadakan diskusi khusus yang bertajuk “Apa yang Salah dengan Pendidikan Karakter?”.
Sebagaimana ditegaskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ada tiga masalah besar terkait karakter dalam generasi muda kita termasuk yg masih berstatus peserta didik, yakni intoleransi, pelecehan (harassment) terutama seksual, dan perundungan atau biasa dikenal dengan istilah bullying.
Menyikapi permasalahan kekerasan fisik yang terjadi belakangan ini, praktisi pendidikan Dr Novianty Elizabeth Ayuna, SH, MPd mengatakan idealnya pendidikan itu berlangsung di tiga sentra, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
''Pemerintah melalui Kemendikbud hingga saat ini telah berusaha mengembangkan berbagai moda pembelajaran karakter termasuk membentuk satu unit khusus untuk itu. Akan tetapi saya melihat upaya Kemdikbud ini tidak diperkuat secara sinergis oleh kedua sentra pendidikan lainnya,” ujar Kepala Sekolah Putra Pertiwi ini.
Baca Juga: Ulasan Buku Sorban yang Terluka: Menyingkap Sisi Lain dari Sebuah Pesantren
Dalam diskusi tersebut Novianty yang juga dosen di sebuah perguruan tinggi swasta itu membahas mengenai peran serta keluarga dan orang tua dalam proses tumbuh kembang anak terutama dalam permasalah pembentukan karakter.
“Kedua kasus perundungan yg terjadi di Jakarta dan Medan menunjukkan dengan sangat jelas tentang kegagalan pendidikan oleh keluarga. Kedua kasus itu membuktikan betapa kurangnya kesempatan anak berkumpul dengan orang tua membangun keluarga sebagai miniatur masyarakat yang damai dan menerapkan nilai-nilai sosial yang positif. Keluarga yang lebih mengedepankan hidup mewah, anak dididik dengan suasana materialistik yang justru kontraproduktif dalam menanamkan nilai sosial yang luhur. Demikian juga dengan kasus di Medan. Bahkan orang tua yang merupakan penegak hukum memfasilitasi bullying oleh anaknya. Sangat ironis,” imbuhnya.
Novianty melihat kelemahan pendidikan karakter bagi generasi muda disebabkan kurang berfungsinya sentra ketiga, yaitu masyarakat.
Salah satu peran masyarakat dalam pembentukan karakter yg menjadi jati diri bangsa adalah sikap keteladanan yang seharusnya diperlihatkan oleh tokoh tokoh masyarakat baik formal maupun informal.
Sayangnya tidak banyak tokoh yang bisa dihadirkan sebagai teladan bagi generasi muda.
Para tokoh justru banyak yg bertikai saling serang bahkan dengan menggunakan bahasa kurang santun dan menunjukan arogansi.