Suara.com - Politisi Partai Golkar bernama Meutya Hafid tengah menyoroti tantangan pasangan di Indonesia yang bertarung melawan infertilitas. Latar belakang dan profil Meutya Hafid pun membuat publik penasaran.
Meutya Hafid menilai, ada 4,8 juta perempuan di Indonesia yang berjuang melawan kondisi ini, termasuk ia sendiri. Dalam bukunya yang berjudul ‘LYORA: Keajaiban yang Dinanti’, Meutya menceritakan perjuangannya meraih keajaiban setelah sepuluh kali percobaan bayi tabung.
Lantas siapakah sebenarnya Meutya Hafid? Simak profil Meutya Hafid secara singkat pada artikel berikut.
Meutya Viada Hafid atau dikenal Meutya Hafid merupakan seorang Politikus Partai Golkar sekaligus mantan pembawa acara berita televisi. Saat ini Meutya sedang menjabat sebagai Ketua Komisi I DPR Republik Indonesia dari Partai Golkar.
Sebelumnya, Meutya pernah bekerja sebagai jurnalis di Metro TV membawakan sebuah acara berita hingga menjadi presenter di beberapa acara lainnya.
Meutya Hafid lahir di Kota Bandung, Jawa Barat, pada 3 Mei 1978. Ia merupakan anak dari pasangan Anwar Hafid dan Metty Hafid. Meski lahir di kota Bandung, namun Meutya dibesarkan di luar kota tersebut.
Pendidikan Meutya Hafid
Keluarga Meutya memutuskan pindah ke Jakarta pada 1980. Disana Ia menyelesaikan pendidikan mulai dari sekolah di SD Menteng 02, SMPN 1 Jakarta, dan SMAN 8 Jakarta.
Meutya juga sempat bersekolah di Crescent Girl School Singapore. Kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di salah satu universitas ternama di Australia tepatnya di UNSW Sydney Australia, jurusan Manufacturing Engineering.
Usai lulus dari perguruan tinggi, Meutya memutuskan untuk pulang ke tanah air dan memilih menjadi reporter di Metro TV.
Riwayat Karier Meutya Hafid
Banyak sekali perlakuan mengerikan yang ia dapatkan selama menjadi jurnalis. Dalam tugasnya sebagai seorang wartawan, pada 2005, Meutya sempat diutus oleh atasannya untuk meliput pemilu di Irak bersama dengan Budiyanto salah seorang juru kamera.
Saat menjalankan tugas, Ia sempat diculik dan disandera oleh sekelompok tentara di Irak dan ditahan selama 3 hari dalam keadaan selamat.
Peristiwa tersebut kemudian diabadikannya lewat sebuah buku yang Ia tulis sendiri yaitu 168 Jam dalam Sandera; Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak.