Dalam kasus ini, Buya Yahya menjelaskan bahwa bersentuhan antara menantu dan mertua tidak membatalkan wudhu. Dalam mazhab Syafi’i, wudhu seseorang batal apabila suami dan istri bersentuhan, meskipun mereka sudah menikah secara sah.
Buya Yahya menjelaskan bahwa batal atau tidaknya wudhu bukan sekadar dilihat dari status seseorang sebagai suami atau istri, tetapi berdasarkan hubungan mahramnya.
"Istri bukanlah mahram bagi suaminya, meskipun ia sudah dinikahi secara resmi," jelas Buya Yahya dalam sebuah video yang diunggah di kanal YouTube Al Bahjah TV.
Menurut beliau, seorang istri tetap bukan mahram bagi suaminya, meskipun hubungan mereka sah dalam pernikahan. Oleh karena itu, jika suami menyentuh istrinya dalam keadaan berwudhu, maka wudhunya batal, sebagaimana ketentuan dalam mazhab Syafi’i.
"Istri Anda semula adalah orang luar, yang dia bukan mahram dan dia batal wudhu dengan Anda. Sampai Anda menikah dengan dia, tetap batal wudhu, karena hukumnya adalah bukan mahram," tambahnya.
Mengapa Bersentuhan dengan Mertua Tidak Membatalkan Wudhu?
Sebaliknya, menyentuh ibu mertua tidak membatalkan wudhu karena ibu mertua adalah mahram bagi menantu laki-lakinya. Status mahram ini diperoleh melalui mushaharah, yaitu hubungan kekeluargaan yang terjadi karena adanya ikatan pernikahan.
"Mahram itu ada tiga. Satu, mahram nasab. Dua, mahram susuan. Ketiga, mahram karena pernikahan," terang Buya Yahya.
Karena ibu mertua adalah mahram, seorang laki-laki tidak boleh menikahinya sampai kapan pun. Inilah alasan mengapa menyentuh mertua tidak membatalkan wudhu. Hukum ini juga berlaku untuk silsilah keluarga istri lainnya, seperti nenek istri (ibu dari ibu mertua) dan seterusnya ke atas.
Menariknya, Buya Yahya juga menegaskan bahwa hubungan mahram antara menantu dan mertua tetap berlaku meskipun sang istri telah meninggal dunia atau bercerai.
"Mertua tetap mertua, mahram selamanya. Siapa lagi? Ya ke atasnya, ibunya mertua namanya nenek istri, mahram. Sampai terus ke atasnya (mahram)," jelasnya.