Anak Indonesia Kecanduan Gula? Ini Bahaya "Hidden Hunger" yang Mengintai Generasi Penerus!

Dinda Rachmawati Suara.Com
Jum'at, 25 April 2025 | 21:32 WIB
Anak Indonesia Kecanduan Gula? Ini Bahaya "Hidden Hunger" yang Mengintai Generasi Penerus!
Ilustrasi anak makan sehat. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia masih bergulat dengan persoalan pelik di bidang kesehatan anak, yakni masalah gizi yang kompleks dan berlapis. Fenomena ini dikenal sebagai Triple Burden of Malnutrition (TBM).

Diketahui, ini kondisi di mana satu populasi menghadapi tiga tantangan sekaligus, mulai dari gizi kurang (stunting dan wasting), gizi lebih (overweight dan obesitas), serta kekurangan mikronutrien (hidden hunger).

Tentu saja, hal tersebut bukanlah sekadar istilah medis, tetapi realita yang berdampak besar pada kualitas generasi penerus bangsa. Terlebih data dari Global Health Observatory WHO yang dirujuk oleh Asia Pathways pada tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi tertinggi di Asia Tenggara untuk kasus wasting dan underweight, serta peringkat kedua tertinggi untuk stunting

Kondisi ini sebagian besar disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat, rendahnya pemahaman tentang gizi seimbang, dan keterbatasan akses terhadap makanan bergizi—terutama di wilayah dengan tantangan sosial-ekonomi yang tinggi.

Ironisnya, meskipun banyak keluarga tahu pentingnya makan sehat, realitas di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak lebih akrab dengan rasa manis dari minuman kemasan, makanan ringan, atau produk olahan tinggi gula seperti kental manis. 

Organisasi Perempuan Aisyiyah Latih Kader Pendamping untuk Pembiasaan Makan Bergizi Balita (Dok. Istimewa)
Organisasi Perempuan Aisyiyah Latih Kader Pendamping untuk Pembiasaan Makan Bergizi Balita (Dok. Istimewa)

Hal ini bukan hanya berdampak pada berat badan, tetapi juga pada kualitas tumbuh kembang, imunitas, hingga kemampuan belajar anak. 

Cita rasa yang kuat seperti manis, asin, dan gurih cenderung membuat anak kecanduan, dan sayangnya, banyak orang tua justru mengikuti kemauan anak karena tidak tega atau tidak tahu alternatif yang lebih sehat.

Dalam konteks inilah, program edukasi gizi menjadi sangat krusial. Namun, edukasi saja ternyata tidak cukup. Diperlukan pendekatan yang lebih menyentuh dan konsisten, yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membantu masyarakat—khususnya para ibu—untuk mengubah kebiasaan makan keluarga dari akar.

Salah satu pendekatan yang kini diupayakan adalah melalui pelatihan kader pendamping gizi di tingkat masyarakat.

Baca Juga: Diduga Gelapkan Dana MBG Hampir Rp1 Miliar, Yayasan MBN: Uangnya Masih Ada di Dalam Rekening

Lebih dari 100 kader dari berbagai wilayah di Indonesia baru-baru ini mendapatkan pembekalan khusus dari Majelis Kesehatan Pengurus Pusat Aisyiyah (Makes PPA), bekerja sama dengan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI). 

Mereka dilatih untuk mendampingi para ibu dalam membiasakan anak-anak mereka mengonsumsi makanan sehat dan bergizi, dengan fokus khusus pada kelompok balita yang rentan.

Program ini akan diterapkan secara intensif selama dua bulan di tiga wilayah rawan stunting, yakni Kabupaten Bogor, Kota Kupang, dan Kabupaten Muaro Jambi. Sebanyak 72 ibu dan anak balita menjadi sasaran awal program ini. 

Para kader tidak hanya memberikan edukasi tentang pola makan sehat, tetapi juga terlibat langsung dalam mencatat perubahan kebiasaan anak dan mendampingi proses adaptasi rasa anak terhadap makanan bergizi. 

Intervensi berupa pemberian bahan pangan bergizi juga menjadi bagian dari strategi untuk mendukung keberhasilan perubahan tersebut.

Menurut ahli gizi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof. Dr. Tria Astika Endah Permatasari, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian susu yang tepat pada anak. Banyak orang tua belum memahami bahwa susu dengan tambahan rasa seperti cokelat cenderung memiliki kandungan gula yang tinggi. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI