4. Gunakan Bahan-Bahan Lokal yang Dekat dengan Alam
Karena terbentuk dari komunitas yang hidup dan beradaptasi di wilayah setempat, masakan Peranakan sangat bergantung pada bahan-bahan lokal. Misalnya, di Jawa atau Sunda, ikan bandeng kerap digunakan untuk menu Imlek, menggantikan ikan dewa yang lebih sulit ditemukan di luar Kalimantan atau Sumatera.
Adaptasi ini menciptakan rasa yang khas dan beragam sesuai daerahnya, namun tetap mempertahankan identitas Peranakan yang kuat.
5. Termasuk Salah Satu Warisan Kuliner Tionghoa di Indonesia
Kuliner Tionghoa di Indonesia terbagi dua: kuliner totok (yang mempertahankan keaslian budaya China) dan Peranakan (yang membaur dengan budaya lokal). Masakan Peranakan berkembang bersama masyarakatnya dan menjadi bagian dari identitas Indonesia.
Ia bukan sekadar jenis makanan, tapi juga bukti bahwa budaya bisa saling mengisi dan tumbuh menjadi sesuatu yang baru dan bernilai tinggi.

Masakan Peranakan Kini Hadir di Gading Serpong
Kabar gembira untuk pencinta kuliner Peranakan! Sebuah restoran khas Kepulauan Riau yang telah dikenal sejak 2017 di Batam, kini membuka cabangnya di kawasan Gading Serpong, Tangerang. Restoran ini membawa semangat “Rumahnya Peranakan”, menghadirkan sajian rumahan seperti Sup Ikan Pedas, Udang Kari Soun, Kepiting Pedas, dan Cumi Oubak dalam suasana hangat penuh nostalgia.
Dibangun oleh dua sahabat, Baba Ory dan Baba Wenta, restoran ini bukan sekadar tempat makan, tapi ruang untuk pulang secara rasa dan kenangan. Seperti kata Baba Ory, “Kadang yang kita cari bukan cuma rasa, tapi rasa pulang.”
Baca Juga: 7 Kuliner Khas Makassar yang Wajib Dicicipi saat Liburan, Dari Coto hingga Barongko
Masakan Peranakan bukan hanya tentang makanan, tapi tentang warisan—tentang kisah orang-orang yang menyeberangi lautan, beradaptasi, dan membangun rumah baru. Lewat setiap suapan, kita mencicipi sejarah dan cinta dari dua budaya yang bersatu.