Suara.com - Aktor Atalarik Syah harus mengalami pengalaman pahit gara-gara terseret kasus sengketa tanah. Adapun jika tak ada langkah drastis yang dilakukan oleh sang aktor, rumahnya yang terletak di kawasan Cibinong, Jawa Barat akan lepas dari tangannya.
Hal itu berkaca dari fakta bahwa kasus sengketa tanah milik Atalarik Syah telah mencapai titik klimaks kala rumah sang aktor dibongkar polisi pada Kamis (15/5/2025).
Atalarik merasa sangat keberatan dengan langkah kepolisian tersebut. Terlebih fakta bahwa kasus yang dialami Atalarik masih berjalan dalam proses sengketa dan belum ada surat eksekusi yang resmi.
Kendati kini merasa terzalimi, Atalarik Syah harus bergegas untuk melakukan langkah sigap sebelum tanahnya lepas dari kepemilikannya.
Belajar dari pengalaman sang aktor, berikut adalah beberapa langkah yang harus ditempuh saat mengalami sengketa tanah.
Kenali dahulu penyebab sengketa tanah
Merangkum aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen ATR/BPN 21/2020), ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pihak seperti Atalarik Syah.
Pertama, mereka yang mengalami sengketa tanah harus mengetahui beberapa faktor yang menyebabkan sengketa tanah bisa terjadi.
Adapun berikut beberapa penyebab yang menjadi biang kerok terjadinya sengketa tanah.
Baca Juga: Awal Mula Sengketa Tanah Atalarik Syach, Kini Rumahnya Hancur Dibongkar Pengadilan
Penyebab pertama adalah sertifikat tanah yang tumpah tindih, yakni adanya dua sertifikat tanah yang beredar. Keberadaan dua sertifikat tanah tersebut terjadi karena kesalahan administrasi.
Proses jual beli tanah tidak sah secara hukum juga menjadi penyebab sengketa tanah. Tanah yang dibeli urung menempuh proses hukum yang jelas, sehingga kepemilikan tanah menjadi tidak diakui. Pembeli tanah harus berhati-hati dan mengamati pihak penjual apakah ia berwewenang untuk menjual tanah tersebut.
Pembeli tanah juga harus mengawasi proses hukum perpindahan sertifikat tanah agar menghindari sengketa tanah di masa yang akan datang.
Sengketa tanah juga dipicu oleh konflik antara ahli waris. Ketika ada dua atau lebih ahli waris yang punya klaim atas suatu bidang tanah, maka kepemilikan tanah tersebut menjadi barang sengketa.
Terakhir, tak jarang ada kejadian tanah diklaim oleh pihak lain. Kejadian seperti ini kerap disebut sebagai 'penyerobotan tanah.'
Langkah tepat menyelesaikan sengketa tanah
Masih mengacu pada Permen ATR/BPN 21/2020, ada beberapa langkah tepat untuk menyelesaikan dan memenangkan sengketa tanah.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa status sertifikat di Kantor Pertanahan.
Pemilik tanah bisa mengetahui apakah surat kepemilikan seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) tercatat sebagai surat yang sah di Kantor Pertanahan.
Tak cukup di situ, di Kantor Pertanahan, si pemilik juga dapat memastikan apakah ada sertifikat tanah lainnya yang beredar.
Saat terjadi sengketa tanah, pemilik tanah perlu mengumpulkan dokumen-dokumen pendukung seperti akta jual beli, surat waris, dan bukti pembayaran pajak properti.
Berkas-berkas tersebut menjadi 'senjata' di pengadilan kala mengalami sengketa tanah.
Mediasi atau menghadirkan pihak ketiga juga menjadi langkah yang tepat. Pemerintah bisa menjadi pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai tanpa proses pengadilan.
Baru saat mediasi gagal, pemilik tanah bisa mengajukan gugatan ke pengadilan dan membuktikan bahwa tanah yang ia miliki adalah tanah yang sudah tercatat secara hukum.
Bukti-bukti yang telah dikumpulkan nantinya akan menjadi bahan pertimbangan hakim untuk menentukan siapa yang menjadi pemilik sah atas tanah yang disengketakan.
Kemenangan di pengadilan ternyata belum menjadi langkah terakhir. Pemilik tanah idealnya melakukan pendaftaran ulang sertifikat tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar tidak terjadi sengketa kembali.
Kontributor : Armand Ilham