suara hijau

Suara Kidung dari Lereng Slamet: Merapal Doa, Merawat Keseimbangan Bumi

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Senin, 19 Mei 2025 | 10:29 WIB
Suara Kidung dari Lereng Slamet: Merapal Doa, Merawat Keseimbangan Bumi
Budayawan, pelaku seni, dan pegiat lingkungan berjalan beriringan sambil membawa bibit pohon yang akan ditanam di lahan lereng selatan Gunung Slamet, Dusun Sirongge, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (18/5/2025). ANTARA/Sumarwoto

Suara.com - Suara tembang berbahasa Jawa mengalun pelan di tengah kesunyian pagi. Di lereng selatan Gunung Slamet, tepatnya di Dusun Sirongge, Desa Karangtengah, Banyumas, suara itu terdengar menembus kabut dan hening.

Minggu itu, (18/5), tanah basah menyambut ratusan bibit pohon yang ditanam pelan-pelan.

Kidung itu dilantunkan oleh Bibi Retno, seniman dan budayawan Banyumas. Ia tak hanya menyanyi, tapi juga merapal doa dalam tembang: ajakan untuk berserah diri, untuk diam, untuk melihat hidup dengan mata batin.

Dalam sunyi, para penanam pohon seperti kembali menemukan arti bahwa bumi perlu dirawat, bukan dikoyak.

Seperti dikutip dari ANTARA, penanaman pohon ini digagas oleh Yayasan Dhalang Nawan. Mereka tak sendiri. Para budayawan, pegiat lingkungan, dan seniman dari Banyumas, Pemalang, dan Brebes ikut serta.

Salah satu bibit pohon nagasari ditanam bersama cokbakal, kendil kecil berisi bumbu dapur, telur, dan simbol-simbol kehidupan. Dalam falsafah Jawa, benda-benda itu bukan sekadar sesajen. Ia lambang harapan, agar yang tumbuh bukan hanya pohon, tapi juga keseimbangan hidup.

“Ini memang menanam pohon. Tapi niat kami adalah untuk konservasi, untuk menjaga kehidupan,” ujar Bambang Barata Aji, Ketua Yayasan Dhalang Nawan.

Sebuah seruan

Budayawan, pelaku seni, dan pegiat lingkungan berjalan beriringan sambil membawa bibit pohon yang akan ditanam di lahan lereng selatan Gunung Slamet, Dusun Sirongge, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (18/5/2025). ANTARA/Sumarwoto
Budayawan, pelaku seni, dan pegiat lingkungan berjalan beriringan sambil membawa bibit pohon yang akan ditanam di lahan lereng selatan Gunung Slamet, Dusun Sirongge, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (18/5/2025). ANTARA/Sumarwoto

Baginya, penanaman ini adalah seruan darurat Gunung Slamet sedang rusak.

Baca Juga: Sejarah Gowokan, Tradisi yang Diangkat dalam Film Gowok: Kamasutra Jawa

Bukan hanya oleh alih fungsi hutan menjadi ladang kentang, tapi juga oleh proyek energi panas bumi yang gagal dan menyisakan luka ekologis.

Pada 2015, proyek PLTPB di sisi selatan Slamet dikerjakan dengan membabat hutan dan membuka jalan ke zona konservasi. Namun setelah bertahun-tahun, proyek itu mandek. Tak ada pembangkit yang berdiri, tapi hutannya telah ditebang, air tercemar, tanah retak. Gunung sudah telanjur terluka.

Di sisi barat, kerusakan lain terjadi. Perkebunan kentang menjalar hingga ketinggian 2.500 meter. Dampaknya perlahan menghantam warga di bawah debit air menurun drastis, banjir bandang muncul saban hujan deras, tanah longsor mengancam desa-desa.

Menjadikan Taman Nasional

Maka, muncul gagasan besar menjadikan Gunung Slamet sebagai taman nasional. Upaya ini sudah lama diperjuangkan para aktivis. Pada Oktober 2024, mereka menggelar Kongres Selamatkan Gunung Slamet di Karanglewas, Banyumas.

Dari sana lahirlah Presidium Gunung Slamet Menuju Taman Nasional, dipimpin oleh Andi Rustono dari Pemalang, sisi utara Slamet.

Gerakan ini bukan untuk melawan siapa pun. Mereka hanya ingin mengingatkan jika gunung sudah rusak, jangan dibiarkan tambah rusak. Dan taman nasional, bagi mereka, bukan penghalang. Ia justru bisa menjadi pelindung memisahkan zona konservasi, zona tradisional, dan zona pemanfaatan secara jelas.

Abdul Rozak, pegiat Jaga Rimba dari Desa Dawuhan, Brebes, menegaskan pentingnya zonasi. Hutan yang rusak sudah mencapai ketinggian 2.400 meter. Ratusan hektare lahan berubah fungsi. Bahkan dalam patroli terakhir, masih ditemukan pembukaan hutan untuk lahan kentang di Dusun Sawangan, Tegal.

Kerusakan itu sudah nyata. Sungai Kalipedes dan Sungai Keruh mengering dan tercemar. Desa Mendala mengalami tanah bergerak, 130 rumah rusak.

Desa Dawuhan dan Igirklanceng hampir selalu banjir saat hujan turun deras. Sebelum 2017, bencana itu tak pernah ada.

Pemerintah provinsi pun mendukung. Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menyatakan Pemprov Jateng telah mengirim surat ke Kementerian LHK untuk menjadikan Slamet sebagai taman nasional. Kini, semua menunggu keputusan pusat.

Bagi Titut Edi Purwanto, budayawan Banyumas, menanam pohon adalah amal jariah. “Kalau si penanam mati, tapi pohonnya hidup, maka amalnya tetap hidup,” katanya. Itu bentuk kemuliaan.

Ia percaya, nenek moyang bangsa ini cerdas membaca alam. Tata musim, pola tanam, masa panen, semuanya diatur dengan harmoni. Kini, tugas generasi baru adalah meneruskan kecerdasan itu. Menjaga bumi pertiwi. Menjaga ibu yang setiap hari melahirkan kehidupan.

Gunung Slamet bukan sekadar bentang alam. Ia adalah sumber air, udara, dan keseimbangan. Dan suara-suara dari lerengnya, lewat kidung, pohon, dan semangat kolektif, sedang berupaya menjaganya tetap hidup. Sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI