Hal itu seperti yang tercantum dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:
فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال - وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب
“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187).
Ketentuan itu merupakan aturan umum mengenai batas kewajiban orang tua dalam menafkahi anak menurut para ulama. Namun dalam praktiknya, orang tua sebaiknya tetap mempertimbangkan kondisi anak, khususnya terkait kesiapan mental mereka untuk hidup mandiri dan tidak lagi bergantung pada orang tua.
Jika anak belum siap secara mental atau belum menemukan pekerjaan yang layak, sebaiknya orang tua tetap memberikan nafkah, meskipun hal ini sebenarnya sudah bukan kewajiban. Bantuan ini sebaiknya dibarengi dengan dorongan agar anak terus berusaha belajar mandiri dan membangun kemandirian hidupnya.