suara hijau

Merawat Bumi, Merawat Iman: Dialog Lintas Iman tentang Lingkungan

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Selasa, 27 Mei 2025 | 11:58 WIB
Merawat Bumi, Merawat Iman: Dialog Lintas Iman tentang Lingkungan
Dialog ekologi dan spritual Muhammadiyah dan GPIB, Jumat (23/5/2025). (Dok. Muhammadiyah)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pembahasan tema ekologi dalam lingkup spiritual sangat jarang terjadi. Padahal, keduanya memiliki keterikatan erat karena sama seperti manusia, alam raya dan seisinya ini adalah ciptaan Tuhan.

Di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, pada Jumat (23/5/2025), gema dialog lintas iman terdengar hangat. Bukan sekadar membahas teologi, perjumpaan itu menyentuh sesuatu yang jauh lebih mendasar: bumi yang mereka pijak bersama.

Sebanyak 40 pendeta dari 15 provinsi, peserta Pendidikan Oikumene Keindonesiaan (POK) GPIB Angkatan II 2025, berkumpul bersama penggerak Eco Bhinneka Muhammadiyah untuk menyelami makna spiritualitas ekologi.

Di hadapan para pemuka agama Kristen itu, Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, memulai pembicaraan dengan sebuah pengingat tajam, “Kalau lingkungan rusak, maka perdamaian pun akan sulit tercapai,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Suara.com, ditulis Selasa (27/5/2025).

Sebuah kalimat yang memadatkan esensi dari gerakan yang ia rintis sejak 2021: bahwa menjaga bumi bukan hanya urusan ilmiah atau teknis, tapi spiritual.

Eco Bhinneka bukanlah gerakan ekologi biasa. Ia lahir dari semangat keagamaan yang ingin menyulam harmoni antarmanusia melalui kepedulian terhadap alam.

Diinisiasi oleh Muhammadiyah dan didukung JISRA (Joint Initiative for Strategic Religious Action), program ini menggerakkan kaum muda lintas iman untuk bersama-sama merawat lingkungan di Pontianak, Ternate, Surakarta, dan Banyuwangi.

“Dalam Islam, kita percaya pada tiga hubungan penting,” ujar Hening. “Hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan alam. Ketiganya saling terkait dan memengaruhi.”

Ia menekankan bahwa ketika satu hubungan rusak, dua lainnya bisa ikut terganggu. Maka merusak alam, sesungguhnya adalah mengkhianati iman dan kemanusiaan.

Baca Juga: Apa Hukum Kurban Idul Adha? Ini Penjelasan Ulama Muhammadiyah

Dalam sesi itu, isu krisis nikel dan deforestasi turut disinggung sebagai contoh nyata bahwa kerusakan lingkungan tak hanya membawa bencana ekologis, tapi juga konflik sosial.

Karena itu, kata Hening yang juga Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, menjaga bumi harus menjadi gerakan kolektif. “Mari kita bergandengan tangan, tanpa memandang latar belakang, demi harmoni dalam tiga hubungan ini,” serunya.

Suara seirama datang dari Pendeta Manuel Raintung, Ketua II Majelis Sinode GPIB. Ia menceritakan bahwa sejak 2023, GPIB telah mendeklarasikan diri sebagai Gereja Ramah Lingkungan.

Dalam perayaan 75 tahun GPIB, mereka menggaungkan komitmen sederhana namun berdampak besar: makan secukupnya dan tidak menyisakan makanan. Sebuah ajaran spiritual yang menyentuh dimensi ekologis.

Pendeta Manuel juga memaparkan gerakan Eco Church yang telah mereka galakkan dalam dua tahun terakhir. Mulai dari pengurangan plastik, larangan rokok di area gereja, hingga pelibatan anak-anak dalam Satuan Tugas Gereja Ramah Lingkungan.

“Kami ingin para pendeta muda tak hanya menjadi kader kerukunan, tapi juga kader lingkungan,” ujarnya.

Pertemuan itu bukan yang pertama bagi kedua lembaga ini. Tahun sebelumnya, GPIB pernah mengundang Hening ke Yogyakarta untuk memberi semangat kepada perempuan-pe

rempuan gereja agar peduli pada isu lingkungan. Mereka juga bekerja sama dalam kegiatan pengabdian masyarakat di Muara Gembong, wilayah pesisir yang menghadapi tantangan serius akibat perubahan iklim.

Kini, perjumpaan itu melahirkan semangat baru: kolaborasi lebih erat antara Eco Bhinneka Muhammadiyah, GPIB, dan GreenFaith Indonesia. Rencana kerja bersama tengah disusun, mulai dari pengelolaan hutan dan pengembangan desa binaan, hingga transformasi rumah ibadah menjadi ruang edukasi lingkungan.

Semuanya berpijak pada satu keyakinan: bahwa iman sejati tak bisa dilepaskan dari kepedulian terhadap ciptaan Tuhan.

“Lingkungan bukan sekadar latar kehidupan,” tutup Hening. “Ia adalah bagian dari relasi spiritual kita. Jika kita mengkhianatinya, maka kita juga sedang mengkhianati iman kita sendiri.”

Dalam suasana yang sarat kekhidmatan itu, batas-batas denominasi agama seolah melebur. Yang tersisa hanyalah semangat untuk merawat bumi sebagai bentuk pengabdian spiritual. Karena bagi mereka, ekologi bukan sekadar urusan duniawi—ia adalah jalan menuju ketenangan jiwa, harmoni sosial, dan damai yang sejati.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI