Suara.com - Menafkahi anak merupakan kewajiban seorang ayah atau orang tua yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Namun, tak sedikit yang masih bertanya-tanya, bagaimana hukum menafkahi anak yang sudah menikah?
Dalam Islam, tanggung jawab nafkah bukan sekadar kewajiban materi, melainkan sebuah bentuk kasih sayang dan tanggung jawab yang telah diatur berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis.
Namun, banyak yang masih bingung tentang batasan orang tua memberi nafkah kepada anak.
Berikut adalah penjelasan tentang hukum menafkahi anak yang sudah menikah seperti disadur dari NU Online dan sumber lainnya.
Hukum Menafkahi Anak yang Sudah Menikah
Allah SWT berfirman dalam Surat Ath-Thalaq ayat 7:
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya..." (QS. Ath-Thalaq: 7)
Sementara itu, Rasulullah SAW bersabda:
"Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." (HR. Abu Daud)
Baca Juga: Apakah Anak Adopsi Berhak Mendapatkan Warisan? Ini Kata Hukum Islam, Adat dan UU
Ayat dan hadis di atas menegaskan kewajiban orang tua, khususnya ayah, untuk menafkahi anak-anak yang masih menjadi tanggungannya, terutama yang belum mampu mencari nafkah sendiri.
Imam Al-Mardawi berpendapat bahwa kewajiban orang tua menafkahi anak yang sudah menikah pada usia dini tetap wajib. Menurutnya, meskipun anak telah menikah, nafkah dari orang tua masih menjadi tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Sebaliknya, Imam Al-Bajuri berpendapat bahwa setelah anak menikah, kewajiban orang tua untuk memberi nafkah tidak lagi berlaku.
Anak yang telah membina rumah tangga sendiri seharusnya mulai bertanggung jawab atas nafkahnya sendiri, kecuali dalam kondisi tertentu seperti tidak mampu bekerja.
Pandangan Imam Al-Bajuri ini cenderung diikuti oleh mayoritas ulama karena dinilai sejalan dengan Al-Qur'an, Hadis, dan nilai kemandirian dalam Islam.
Para ulama sepakat bahwa kewajiban soal nafkah untuk anak yang sudah menikah ini berlaku jika anak masih dalam kondisi lemah dan tidak mampu mencari penghasilan sendiri.
Jika anak sudah dewasa dan mampu bekerja atau memiliki harta yang cukup, kewajiban nafkah dari orang tua menjadi gugur.
Terkait kewajiban nafkah ini, ada pengecualian penting untuk anak yang sudah dewasa dan mampu bekerja tetapi sedang menuntut ilmu dengan alasan yang syar'i dan diharapkan akan menghasilkan kebaikan atau kemuliaan dari ilmu tersebut.
Dalam kondisi demikian, orang tua tetap wajib memberi nafkah kepada anak agar proses belajar tidak terganggu.
Kapan Kewajiban Nafkah Orang Tua ke Anak Berhenti?
Mayoritas ulama menetapkan bahwa nafkah untuk anak laki-laki wajib diberikan sampai ia baligh dan sanggup memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Setelah itu, kewajiban nafkah orang tua dihentikan.
Untuk anak perempuan, kewajiban nafkah tetap berlaku hingga ia menikah. Setelah menikah, tanggung jawab nafkah beralih kepada suaminya.
Kecuali jika anak laki-laki mengalami kondisi khusus seperti sakit berkepanjangan atau tidak mampu bekerja, maka kewajiban orang tua untuk menafkahi tetap berlaku.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Shalih Al-Fauzan turut mendukung pandangan ini, dengan menegaskan bahwa nafkah tetap menjadi kewajiban selama anak belum mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.
Nafkah yang Wajib Diberikan kepada Anak
Kewajiban nafkah orang tua terhadap anak mencakup kebutuhan pokok seperti:
- Pangan (makanan pokok)
- Sandang (pakaian yang layak)
- Papan (tempat tinggal yang layak)
Selain itu, nafkah mencakup kebutuhan dasar lain yang wajib dipenuhi oleh orang tua sesuai dengan kemampuan mereka. Kebutuhan sekunder seperti barang elektronik bukan termasuk kewajiban kecuali benar-benar diperlukan.
Demikianlah penjelasan lengkap terkait hukum menafkahi anak yang sudah menikah. Semoga bermanfaat.
Kontributor : Dini Sukmaningtyas