Suara.com - Kontich, sebuah kota kecil di Belgia, baru saja menjadi panggung megah bagi perayaan budaya Indonesia yang luar biasa. Pada 17 dan 18 Mei 2025, ribuan pengunjung memenuhi pusat kota untuk merasakan kehangatan dan warna-warni budaya Nusantara melalui Festival Indonesia Kaki Lima.
Ini merupakan sebuah ajang dua hari yang menjelma menjadi destinasi wisata budaya dan kuliner yang tak terlupakan. Diselenggarakan oleh organisasi nirlaba Native Indonesia, yang didirikan oleh Irin Puspasari dan Indah Virginia, festival ini menggabungkan kekayaan seni, kuliner kaki lima, fashion tradisional, hingga diskusi budaya yang menggugah pikiran.
Dengan dukungan dari tokoh lokal seperti Jonas Kerremans, Silvie Kerremans, dan Amelia Diva Heren, acara ini telah menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya bisa menjembatani dua bangsa yang berbeda.
Harmoni Budaya yang Menggetarkan Jiwa
Festival secara resmi dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Bapak Andri Hadi, yang menekankan pentingnya pertukaran budaya dalam mempererat hubungan antar negara.
"Makanan dan seni, seperti yang kita semua tahu, memiliki kekuatan unik untuk menyatukan orang-orang, mendorong dialog dan pemahaman di antara individu-individu dari berbagai latar belakang dan kebangsaan," ungkap beliau dalam sambutannya.
Andri pun berharap pertemuan ini dapat memperkuat ikatan persahabatan, kemitraan, dan kolaborasi antara masyarakat Belgia dan Indonesia.
Panggung utama festival menyuguhkan ragam penampilan seni yang memesona. Ansambel Angklung Sanggar Sriwijaya menghadirkan harmoni bambu yang menyentuh, sementara Dwi Mekar Belgium menampilkan tarian-tarian tradisional dari Jakarta dan Bali yang memikat.
Gamelan dari Mudrasvara Nusantara juga mengiringi gerakan lembut para penari, menciptakan atmosfer yang magis di jantung Eropa.
Baca Juga: Warung Nayamul: Kuliner Khas Jawa dengan Konsep Prasmanan yang Nyaman
Tak hanya itu, kehadiran bela diri tradisional Pencak Silat dari Linkeroever dan Pamor Badai Amsterdam memberikan energi adrenalin sekaligus memperkenalkan kekayaan seni bela diri Nusantara kepada publik internasional.
Di sektor musik, penampilan energik dari band BJamz, Magic Circle, dan Dhini Rambu Piras (runner-up The Voice Indonesia 2018) membawa penonton menari dan bernyanyi bersama.
Artis lokal Belgia, Tinne Oltmans, memberikan sentuhan emosional dengan penampilannya yang didedikasikan untuk neneknya yang berdarah Indonesia.
Wisata Rasa Ala Kaki Lima
Salah satu daya tarik utama festival ini tentu saja adalah kulinernya. Mengusung semangat kaki lima, pengunjung diajak mencicipi cita rasa autentik Indonesia yang kaya rempah dan tradisi.
Dari bakso ikan KITO, nasi bakar khas Kalimantan, hingga sajian Bali dari Dwi Mekar, setiap stan makanan menawarkan perjalanan rasa yang mengingatkan pada hiruk-pikuk pasar malam di tanah air.
Tak ketinggalan nasi goreng legendaris dari House of Indonesia dan es cendol manis menyegarkan dari Senang Sanur Bali. Asiabel hadir dengan nasi padang yang menggoda, dan Asianindo memanjakan lidah dengan daging panggang khas Indonesia.
Untuk pencuci mulut, Sorbetes Manong Jelle dan ’t Ijsbeertje menawarkan es krim dan sorbet tropis dengan rasa yang eksotis, semuanya ditemani gin tonic menyegarkan dari Rotary Minerva.
Wastra dan Kriya: Warisan dalam Balutan Modern
Di luar kuliner, festival ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan kecintaan terhadap budaya.
Anindya Asmarani Sindhuwinatha, remaja 17 tahun yang terinspirasi oleh tantenya, Maharani (pendiri label Lurik Prasojo), mempersembahkan koleksi busana musim panas yang memadukan motif tradisional dan siluet modern.
“Saya ingin generasi saya merasa bangga memakai warisan kita, tapi dengan gaya yang sesuai zaman,” ujar Anindya.
Tiffany Boetik melalui proyek Bentalaproject, Master Bagasi juga mempersembahkan batik dalam bentuk yang elegan dan kontemporer. Tidak ketinggalan, DUA Bags, Toko Manis, dan De Hiro turut memamerkan karya kerajinan tangan yang menampilkan kekayaan tekstur dan cerita dari berbagai daerah di Indonesia.
Lebih dari Sekadar Festival
Festival ini juga menggelar diskusi budaya yang menggugah, mengangkat tema “Budaya sebagai jembatan menuju harmoni dan kehidupan bersama.” Kerja sama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Brussel, Asian Persuasion, Konservatorium Antwerpen, dan pelaku budaya muda seperti Anindya menambah kedalaman makna festival.
Dalam wawancara, Irin Puspasari menjelaskan filosofi di balik nama festival. Nama ‘Kaki Lima’ punya makna ganda. Selain merujuk pada pedagang dengan gerobak lima ‘kaki’, istilah ini juga berakar dari trotoar selebar lima kaki yang dibuat oleh VOC, tempat para pedagang kecil menjajakan dagangan mereka.
"Semangat hidup dan berdagang dari jalanan inilah yang kami bawa ke sini,” jelasnya.
Bagi yang belum sempat hadir, kesempatan masih terbuka lewat Kaki Lima Pop-Up Store yang akan dibuka bulan Juni di Toko Manis, Asiatpark, Vilvoorde. Ini menjadi langkah lanjutan untuk terus menghidupkan budaya Indonesia di Belgia secara berkelanjutan.