Suara.com - Pernahkah kamu menahan air mata saat mendengar khutbah Idul Adha? Hari raya yang penuh takbir dan haru itu, sering kali menyisakan ruang untuk merenung, terutama ketika khutbah menyentuh tentang orang tua.
Idul Adha bukan hanya tentang daging yang dibagikan atau takbir yang menggema, tapi juga tentang mengenang pengorbanan dan siapa lagi yang paling banyak berkorban dalam hidup kita kalau bukan orang tua?
Dalam artikel ini, kamu akan menemukan contoh teks khutbah Idul Adha yang sedih dan menyentuh, khusus tentang orang tua. Teks ini bisa jadi referensi bagi kamu yang akan menyampaikan khutbah, atau sekadar ingin merenung lebih dalam tentang makna kurban dan cinta tanpa syarat dari orang tua.
Khutbah Idul Adha Sedih tentang Orang Tua
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. Ma'asyiral Muslimin wal Muslimat rahimakumullah,
Pagi yang penuh berkah ini, di hari raya Idul Adha yang mulia, kita kembali berkumpul. Udara dipenuhi gema takbir yang menyejukkan hati, mengingatkan kita betapa agungnya Allah SWT, Sang Pemilik segalanya, yang tak pernah lelah mengasihi hamba-Nya. Idul Adha ini bukan sekadar rutinitas menyembelih hewan kurban, tapi lebih dari itu, ini adalah pelajaran tentang pengorbanan yang tulus, keikhlasan jiwa, dan ketaatan yang luar biasa.
Semua itu kita pelajari dari teladan mulia keluarga Nabi Ibrahim AS: beliau sendiri, Siti Hajar yang setia, dan putra tercinta, Nabi Ismail AS.
Hadirin sekalian yang saya cintai karena Allah,
Cobalah sejenak kita bayangkan kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Sebuah cerita yang akan selalu mengharukan dan penuh hikmah, terutama bagi kita yang berjuang dalam peran sebagai orang tua dan anak.
Bayangkan, seorang ayah yang sudah sangat lama mendambakan buah hati, penantian bertahun-tahun, lalu di usia senja, Allah mengaruniakannya seorang putra yang saleh, yang menjadi pelipur lara. Kebahagiaan itu begitu besar. Namun, takdir Allah datang dengan ujian yang tak terduga, yang bahkan mungkin sulit dicerna akal: Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih putranya sendiri.
Baca Juga: 6 Amalan Anak untuk Orang Tua yang Sudah Meninggal, Pahala Terus Mengalir
Pernahkah terbayang betapa hancurnya hati seorang ayah saat mendengar perintah itu? Bagaimana beliau mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan titah Ilahi ini kepada buah hatinya? Dan yang lebih membuat kita merinding, bagaimana mungkin seorang anak bisa begitu ikhlas menerima takdir seberat itu?
Inilah puncak dari segala ketulusan dan ketaatan. Ismail, putra yang belum lama hadir namun sudah memiliki kedewasaan iman yang luar biasa, menjawab dengan penuh ketenangan, tanpa sedikitpun keraguan:
fa lammâ balagha ma‘ahus-sa‘ya qâla yâ bunayya innî arâ fil-manâmi annî adzbauka fandhur mâdzâ tarâ, qâla yâ abatif‘al mâ tu'maru satajidunî in syâ'allâhu minash-shâbirîn
Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Jawaban Ismail ini sungguh mengguncang jiwa. Ia menunjukkan bukan hanya ketaatan mutlak kepada Allah, tetapi juga rasa hormat dan kepercayaan yang begitu dalam kepada ayahnya. Ia tahu, ini bukan keinginan pribadi ayahnya, melainkan kehendak Allah.
Ini adalah esensi pengorbanan, tak hanya dari seorang ayah yang siap merelakan, tapi juga dari seorang anak yang bersedia mengorbankan segalanya demi menjalankan perintah Allah.