Keberhasilan menjadi juara junior pada Grand Slam Prancis Terbuka 2008 tidak dapat dijadikan tolak ukur ketika terjun di jalur profesional karena terdapat perbedaan mencolok ketika bertanding di level usia muda dan senior tingkat dunia. Apalagi, kata dia, negara yang semula berada di bawah Indonesia pada era 80-an hingga akhir 90-an, kini sudah bisa menyejajarkan diri dengan petenis Eropa.
Sebut saja, dua petenis kembar asal Thailand Sanchai dan Sonchat Ratiwatan yang prestasinya mulai meroket, dan petenis Jepang Kei Nishikori yang baru-baru ini menembus empat dunia. Belum lagi, petenis Tiongkok dan Korea Selatan yang saat ini sudah wara-wiri di 20 besar dunia.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu, Christo mengaku telah menemukan kemantapan untuk tetap berjuang di jalur profesional meski tidak menyangkal terkadang pikiran untuk menyerah itu muncul ketika gagal dalam suatu pertandingan.
"Maunya saya, atlet itu hanya memikirkan berlatih dan bertanding. Akan tetapi, hal ini belum bisa untuk saat ini karena masih ada keterbatasan. Hingga kini, saya masih melakukannya sendiri, seperti menyusun jadwal pertandingan hingga mendaftar dalam suatu turnamen," kata petenis yang mulai berlatih tenis pada usia tiga tahun ini.
Ia tidak memungkiri terdapatnya sejumlah komponen yang tidak dapat dipenuhinya di tengah berkecamuknya keinginan untuk menembus persaingan 100 dunia. "Makin merasa mampu, makin merasa pula banyak kekurangannya," ucap Christo.
Menurut dia, kondisi finansial menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam menjalani karier profesional ini. Dalam periode satu tahun, setidaknya Christo membutuhkan dana sekitar 80.000--100.000 dolar AS (atau hampir satu miliar rupiah) untuk biaya mengikuti tur berkeliling dunia.
"Memang ada yang mensponsori saya karena saya menjadi ikon sejumlah produk olahraga. Akan tetapi, sejauh ini tidaklah cukup. Ujung-ujungnya, tetap keluarga yang menjadi pendukung utama. Sementara itu, uang hadiah semisal tembus babak 16 besar atau delapan besar yang didapat, terbilang masih kecil," kata pengidola Andre Agassi ini.
Pengeluaran yang menguras kocek itu untuk biaya menyewa pelatih profesional, biaya tim manajemen yang terdiri atas tim teknologi informatika, tim video, dan tim marketing, hingga biaya lainnya untuk meningkatkan profesionalisme sebagai petenis, seperti memiliki laman di internet.
Untuk pelatih profesional, dia menggunakan jasa pelatih asal Amerika Serikat Robert Jesse Davis yang berdomisili di Kamboja.
"Karena terkait dana, saya terpaksa menyiasati dengan hanya didampingi pelatih selama 12 minggu dari 24 pekan total waktu turnamen selama satu tahun," ujar dia.
Optimistis
Meski dihadang berbagai persoalan di jalur profesional, Chirsto telah memiliki target pada Asian Games 2018. Ajang olahraga paling bergengsi di kawasan Asia ini akan dijadikan puncak kariernya dalam memperkuat tim nasional.
Ia yang sudah bergabung dengan tim nasional sejak berusia 17 tahun ini, tepatnya ketika Indonesia mengikuti Piala Davis di Hong Kong, optimitis bakal berprestasi pada tahun 2018 karena ketika itu akan berusia 29 tahun atau usia matang seorang petenis.
"Semua orang bicara begitu. Jika dilihat, memang ada benarnya karena rata-rata peringkat satu dunia pada usia 28--30 tahun," ujar putra dari mantan petenis nasional Elvia Merlianti ini.
Untuk itu, peraih perak ajang ITF Junior Morroco 2008 ini mengusung target menembus 100 dunia sebelum ambil bagian di Asian Games. "Saya yakin karena saya bekerja, bukan sembarangan bekerja, melainkan benar-benar bekerja keras untuk mencapainya," kata petenis yang berhasil mencapai peringkat 18 dunia kelompok junior ini.
Sementara, Pelatih Nasional Roy Therik mengatakan bahwa peluang Christo untuk mengukir sejarah sangat terbuka pada Asian Games mendatang. Menurut dia, Christo harus percaya diri karena sejatinya Indonesia pernah meraih medali Asian Games di cabang olahraga tenis pada periode 80-an hingga awal 90-an.