"Sektor putra ini memiliki sejarah sendiri, dan sejarah bisa saja berulang. Apalagi bagi Christo, apa yang tidak mungkin? Dia masih muda, secara teknik dan fisik sudah bisa bersaing, tinggal bagaimana mengelolanya untuk mencapai target," ujar dia.
Menurut dia, kelebihan Christo dari sisi mental dan berbakat sebagai petenis dapat dijadikan modal untuk menembus persaingan di Asian Games mendatang.
"Dia beda, dia begitu mengagumkan ketika di lapangan. Dia saya sebut sebagai sosok petarung sejati," kata Roy.
"Warning" Indonesia Sementara itu, mantan petenis nasional Bonit Wiryawan mengatakan keberhasilan bersaing di tingkat dunia ketika era dirinya dan Suwandi tidak bisa disamakan dengan saat ini.
Ia yang dijumpai di Palembang seusai menerima penghargaan ITF mengatakan bahwa beberapa negara di Asia saat ini fokus memenangkan persaingan di level dunia, berbeda dengan beberapa dekade lalu.
"Saat ini persaingan sudah demikian ketat, bisa dikatakan negara lain bergerak, sementara Indonesia cenderung jalan di tempat. Misalnya, pada tahun 2010, ada atlet junior Indonesia bisa menembus kejuaraan terbuka di tingkat Asia dengan setidaknya masuk lima besar, kini pada tahun 2014 saya cek sudah tidak ada lagi," kata dia.
Menurut dia, penyebab kemunduran prestasi ini adalah turunnya kualitas kompetisi di Indonesia lantaran tidak ada keseriusan dalam membina atlet, terutama di luar Jawa.
Kenyataan ini dapat dilihat dengan begitu mendominasinya Christopher Rungkat dalam tujuh tahun terakhir dengan tidak tergeser dari peringkat pertama Indonesia.
Keadaan ini justru menjadi bumerang bagi Christo karena harus bertanding ke luar negeri untuk mendapatkan lawan sepadan.
"Waktu era saya, yang bisa masuk peringkat dunia bisa 20--30 orang. Akan tetapi, kini hanya 1--2 orang saja. Jika ini tidak dicarikan jalan keluarnya, bukan tidak mungkin nantinya tidak ada lagi atlet Indonesia yang bisa main di luar negeri karena tidak dapat poin," katanya.
Menurut dia, PP Pelti harus mengeluarkan strategi khusus dalam menjembati prestasi atlet ketika beralih dari level junior ke senior (di atas usia 18 tahun) atau level junior ke profesional.
Kompetisi yang ada di dalam negeri relatif kurang dari sisi jumlah dalam memenuhi kebutuhan atlet, terutama ketika atlet beranjak dari junior ke level senior.
"Kompetisi sudah tidak berkualitas, jumlahnya juga sedikit. Atlet banyak santainya dibandingkan saya dahulu, terkadang sampai istirahat tiga hingga empat bulan karena tidak ada kompetisi untuk raih poin profesional," kata dia.
Seharusnya, kata dia, PP Pelti mengelola suatu kompetisi yang berkesimbungan sehingga petenis nasional tidak ada yang tidak masuk peringkat dunia.
"Ini kan kasihan, seperti Aditya Harry Sasongko yang notabene atlet nasional, tetapi tidak ada peringkat dunianya karena tidak ada kesempatan untuk cari poin di dalam negeri. Jika sudah begitu, dia tidak bisa main di luar negeri karena umumnya turnamen mendaftar atlet berdasarkan peringkat ATP," kata pelatih yang kerap dipercaya membawa atlet junior ke ajang internasional ini.