Kemungkinan mengusir Rohingya dari lahan garapan tersebut, menemui momentum pada tahun 2012, yakni ketika terjadi kasus tiga warga Muslim Rohingya memerkosa gadis Buddhis di Rakhine. Kasus itu lantas menimbulkan kemarahan kaum Buddhis di Rakhine dan menyerukan persekusi terhadap Rohingya.
"Namun, fakta di lapangan menyebut bahwa hanya biksu-biksu lokal dan sejumlah organisasi publik yang ikut melakukan perburuan berdarah etnis Rohingya. Mayoritas kaum Buddhis tidak ikut dalam persekusi itu," terang Saskia.
Aksi perampasan lahan dan pengusiran Rohingya atas motif ekonomi tersebut, berubah menjadi wacana konflik agama dan etnis, karena terdapat "fakta yang disembunyikan"—dan Saskia, mengungkapkan data tersembunyi itu.
"Petani-petani kecil yang terusir dari lahan garapannya oleh militer bukan hanya dari kalangan Rohingya. Petani kecil dari kalangan Buddhis juga semakin banyak yang tak memunyai tanah selama beberapa tahun terakhir," terangnya.
Militer telah mengambilalih banyak lahan milik petani-petani kecil dari kalangan Buddhis sejak era 1990-an. Lahan-lahan yang tadinya milik petani-petani kecil non-Rohingya itu lantas dimiliki perusahaan-perusahaan asing swasta yang bergerak dalam bidang ekstraksi kayu, pertambangan, dan air.
"Kenyataan inilah yang tak terungkap ke media, absen dalam diskusi mengenai konflik agama di Myanmar. Media-media internasional hanya fokus pada persoalan kebencian agama," tukasnya.
Rakyat miskin dari kalangan Buddhis maupun Rohingya yang Muslim di Myanmar, sempat berharap banyak ketika Aung San Suu Kyi dan partainya memenangkan pemilu November 2015. Mereka berharap, terjadi reformasi agraria, dan kembali mendapatkan lahan garapan.
Namun, harapan itu sirna ketika Suu Kyi memberikan pernyataan publik pada Mei 2016, bahwa tak ada reformasi agraria. Ia juga tak pernah menyinggung aksi perampasan lahan oleh militer. Ia hanya pernah meminta meminta Amerika Serikat (AS) tidak memakai kata "Rohingya"—yang menurut juru bicaranya—mengganggu agenda rekonsiliasi nasional. Sementara di lain sisi, perampasan tanah oleh militer Myanmar terus dilakukan.
Sementara dari pemerintahan sipil, tahun 2012, parlemen justru mengesahkan dua revisi undang-undang pertanahan yang memberi "angin" kepada perusahaan-perusahaan asing guna menguasai lahan yang sudah terkonsentrasi di tangan militer. Kedua UU itu adalah UU Lahan Perkebunan dan UU Tanah Kosong.
Baca Juga: Setara: Indonesia Harus Pelopori Invervensi Kemanusiaan Rohingya
Melalui UU tersebut, praktik landgrabbing atau perampasan lahan oleh pemerintah maupun militer terhadap "lahan-lahan kosong" atau yang ditinggalkan pemiliknya menjadi sah secara hukum. "Perburuan etnis Rohingya guna mendapatkan lahan kosong pun semakin kentara," tukas Saskia.
Selain mengubah sistem kepemilikan lahan, pemerintah juga membuat peraturan baru mengenai UU Investasi Asing, yang membolehkan investor-investor asing memunyai 100 persen saham kepemilikan perusahaan-perusahaan dalam negeri maupun proyek pembangunan.
Berkat perangkat baru hukum tersebut, petani-petani kecil di seantero Myanmar—yang mayoritas beragama Buddha—terlibat konflik dengan militer. Tak jarang dari mereka yang melakukan perlawanan terhadap militer maupun perusahaan yang ingin mengambilalih lahannya.
"Ironisnya, setelah kehilangan tanah, petani-petani kecil itu tak terserap masuk dalam industri. Sebab, banyak investasi asing terkonsentrasi pada sektor ekstraktif, bukan manufaktur, sehingga tak memerlukan banyak tenaga buruh," terang Saskia.
Contohnya, proyek pembangunan pipa "Myanmar's Yadana pippeline project", yang menyedot investasi asing senilai 800 Miliar Euro hanya menyerap 800 buruh dari kalangan warga Myanmar.
Sama-sama Ditindas