Suara.com - Pasangan diduga mesum yang disiram warga dengan air comberan, belakangan diketahui adalah Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Langsa, Aceh berinisial TSF (50). Dalam video viral itu, TSF bersama pasangannya sempat dipersekusi warga.
Dilansir dari laman Kriminologi.id (jaringan Suara.com), TSF dihukum mandi comberan oleh warga di Desa Paya Bujok Seulemak, Kecamatan Langsa Baro, Kota Langsa, Sabtu, 28 Juli 2018, lantaran dituduh telah berkhalwat atau berduaan dengan pasangan wanita yang tidak sah berinisial DK (30).
Belakangan diketahui, TSF dan pasangannya DK telah menikah secara sirih. Padahal, saat diamankan oleh warga, pasangan ini telah menunjukan bukti surat nikah sirih mereka. Warga tetap memandikan pasangan tersebut dengan air comberan karena warga menduga buku nikah siri itu adalah palsu.
Pada buku nikah yang ditunjukkan kepada warga, diketahui TSF dan DK telah menikah secara sirih pada 1 Maret 2018, di Binjai, Sumatera Utara. Pasangan ini dinikahkan oleh perangkat desa setempat bernama M. Dahlan Yasin.
Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa, Ibrahim Latif mengatakan, pihaknya telah menelusuri keabsahan buku nikah sirih tersebut. Dan berdasarkan hasil penelusuran, diketahui TSF dan DK telah sah menikah secara agama.
Dinas Syariat Islam juga memanggil pihak-pihak terkait yaitu kepala desa di tempat kejadian, kepala desa dari pihak perempuan, dan dari pihak laki-laki, serta perangkat desa dan keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan untuk dimintai keterangan.
"Jadi walinya yaitu abang kandung pihak perempuan mengaku bahwa dia hadir pada saat mereka menikah pada bulan Maret lalu di Binjai. Itu sesuai buku nikah yang saya lihat. Dan saya telpon ke Binjai, juga mendapat informasi yang sama. Jadi secara agama mereka sah telah menikah,” kata Ibrahim melalui sambungan telpon, Senin (30/7/2018).
Ibrahim juga menyampaikan penyelesaian masalah dengan warga desa, kedua pasangan ini telah memaafkan warga yang telah melakukan tindakan main hakim sendiri (persekusi) dengan cara memandikan air comberan.
"Jadi saya tanya kepada pihak laki-laki dan perempuan, bagaimana tentang yang disiram air parit oleh masyarakat. Jawabannya, pihak korban telah memaafkan, sehingga kita membuat surat perjanjian dari kedua belah pihak agar tidak ada tuntutan di kemudian hari," ujarnya.
Baca Juga: Agar Tak Jadi Pecundang, Zidane Sarankan Madrid Beli Pemain Ini
Sementara itu, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin mengatakan, dalam penerapan hukum adat di sebuah desa, jangan sampai melanggar aturan hukum.
"Saya prihatin dan menyayangkan hal itu terjadi. Saya ingatkan, jangan sampai masyarakat menegakkan hukum adat dengan cara melanggar hukum. Tidak ada dalam hukum adat kita yang sanksinya memandikan dengan air comberan," kata Taqwaddin kepada wartawan di Banda Aceh, Senin (30/7/2018).
Menurutnya, jika ada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hukum adat maka sudah ada aturan yang telah ditetapkan sebagaimana disebutkan dalam Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat. Bahkan Qanun tersebut pelaksanaannya diperkuat dengan Keputusan Bersama Gubenur Aceh dengan Kapolda dan Ketua MAA Tahun 2012, yang selanjutnya diatur pula dengan Peraturan Gubernur No 60 Tahun 2013.
"Dalam qanun itu, penyelesaian sebuah masalah atau sengketa yang disebabkan karena pelanggaran, tidak ada dengan cara memandikan air comberan. Melainkan penyelesaian dilakukan dengan cara musyawarah," katanya.
Taqwaddin juga menyampaikan, dalam Qanun dan peraturan tersebut, warga tidak boleh mengambil peran aparat penegak hukum, apalagi melakukan persekusi dengan cara memandikan dengan air comberan.
"Warga masyarakat tidak boleh mengambil alih peran aparat penegak hukum (APH) dan masyarakat juga tidak boleh melakukan perbuatan massal semena-mena yang melanggar hukum (eigenrechtig)," katanya.