Suara.com - Jamal Khashoggi, kolumnis Washington Post yang memasuki Konsulat Saudi, Istanbul, Turki pada 2 Oktober 2018, tidak pernah terdengar lagi keberadaannya, sampai diumumkan meninggal dunia di tangan satuan pasukan pribadi negara kerajaan itu. Para pejabat Saudi Arabia mengakui bahwa ia terbunuh.
Mengapa ia dilenyapkan?
Menurut Yasin Aktay, sosiolog dan penasihat Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) yang tengah berkuasa di Turki, sebagaimana dituturkan lewat Anadolu Agency, Turki, hal ini disebabkan karena Riyadh (pusat pemerintahan Saudi) memandang Khashoggi sebagai seseorang yang berpotensi sebagai oposisi. Meskipun begitu, ia tidak pernah menganggap atau memposisikan diri seperti demikian.
"Dari mana kecurigaan atas dirinya itu berasal?" tanya Aktay, yang dikenal sebagai kawan Jamal Khashoggi pula.
"Saya pikir kecurigaan ini berkembang dari kondisi paranoid, kekuasaan, juga pemerintahan yang paranoid, sekaligus sedikit pengecut," tandasnya.
Jamal Khashoggi berasal dari keluarga sangat mapan. Kakeknya adalah Muhammed Halit Kasikci, yang berdarah Turki. Ia hanyalah salah satu dari ribuan warga Saudi keturunan negara Mustafa Kemal Ataturk itu, bermukim di Washington, D.C., Amerika Serikat dalam satu setengah tahun terakhir, sekaligus menjadi kolumnis di The Washington Post.
Ia berencana meresmikan pernikahan dengan Hatice Cengiz, tunangannya, juga berdarah Turki, yang menunggunya di luar gedung Konsulat Saudi pada hari di mana ia dibunuh.
Adapun alasannya mengunjungi konsulat adalah untuk memperoleh dokumen resmi telah menceraikan istri sebelumnya, yang dibutuhkan untuk melengkapi keabsahannya menikahi Hatice Cengiz.
Selain itu, ia secara berkesinambungan mengunjungi Istanbul untuk ikut serta dalam pertemuan bersama para pakar dalam memberikan solusi bagi kemunduran perekonomian yang diderita dunia Islam.
Baca Juga: Nicki Minaj Dituduh Jiplak Lagu Milik Tracy Chapman
"Istanbul adalah pusat yang penting bagi komunitas Islam dunia. Sebagian besar pertemuan Islam kelas dunia diadakan di sini," papar Aktay.
“Dia selalu diundang ke pertemuan-pertemuan ini, hampir setiap bulan, dan tentu saja dalam setiap rapatnya dihadiri para tokoh terkemuka. Namanya sendiri sudah demikian dikenal, dan termasuk satu di antara mereka yang terlibat dalam acara-acara itu."
Turki sebagai model percontohan
Harapan Khashoggi tumbuh demi melihat berembusnya angin demokrasi dan kebebasan seiring Arab Spring atau Kebangkitan Arab pada 2011. Ia menulis serangkaian artikel dan berpidato tentang akan hadirnya era baru di Mesir, Libya, dan Yaman.
Baginya, dunia Islam bakal mampu mengatasi segala permasalahan lewat demokrasi. Terobosan demokratis dan perkembangan ekonomi yang dilihatnya pada Turki membuatnya tergugah. Ia menyatakan bahwa negara ini bisa dijadikan sebagai model percontohan dalam dunia Islam.
Berdasarkan pandangan Khashoggi, Aktay menyampaikan, "Ia akan menyatakan bahwa Turki, terutama untuk keberhasilannya dalam hal pembangunan dan demokratisasi, menjadi model yang tepat bagi dunia Arab. Dunia Arab bakal dipengaruhi, serta mengalami perubahan, cepat atau lambat. Tentu saja, ia sadar pada kenyataan bahwa tidak ada percontohan yang bisa dipindahkan secara keseluruhan. Akan tetapi inspirasi dan pengaruh dari Turki ini akan bakal bergaung, selama Kebangkitan Arab, dan ia benar-benar melihat bahwa analogi ini telah muncul."