Kemudian dia juga aktif, mendampingi mahasiswa/mahasiswi Papua dalam berbagai demonstrasi damai.
Setelah memilih menjadi pengacara publik diluar LBH pun Vero tetap melanjutkan advokasinya terhadap orang-orang Papua yang dipaksa berhadapan dengan hukum Republik Indonesia.
Jefri Wenda, mantan ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kali pertama mengenalnya saat Vero telibat advokasi aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), pada 1 Desember 2015.
“Sejak persiapan aksi 1 Desember di Jakarta saya mengenal dia. Sejak itu dia selalu ada buat kami,” kata Wenda kepada Jubi Minggu, 8 September 2019.
“Saat kami berhadapan dengan situasi yang teramat sulit dalam aksi-aksi damai di Jakarta, saat Polda Metro Jaya menolak surat pemberitahuan aksi, mengadang aksi karena tidak ada surat izin, menangkap dan membubarkan aksi, disitulah Veronica Koman hadir sebagai pendamping hukum kami,” papar Wenda.
Veronica seperti malaikat yang tanpa cela, Wenda bilang Vero selalu ‘pasang badan’ di depan barisan aksi untuk bernegosiasi, berdialog dengan pihak kepolisian demi kelancaran aksi.
“Tidak pernah tidak, dia selalu ada untuk kami, bahkan hingga saat ini,” ujarnya.
Terkait isu Papua, Vero kerap bersuara keras di media soal pelanggaran HAM di Papua dan menjadi bagian tim pembela hukum aktivis-aktivis Papua hingga kekinian.
Ia juga menjadi salah satu dari puluhan pengacara dalam pengajuan uji materi pasal-pasal makar di KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017.
Baca Juga: Polda Jatim Surati Mabes Polri Buru Veronica Koman di Luar Negeri
Saat pemerintah RI memblokir internet di Papua pada 23 Agustus 2019, Veronica bersama Jeniffer Robinson (advokat Inggris) menyurati Pelapor Khusus PBB David Kaye dan Komisi Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR).
Keduanya mengingatkan pemblokiran itu mempersulit jurnalis dan aktivis HAM memantau situasi dan kekerasan di Papua.
Seusai penetapannya jadi tersangka, Veronica masih sempat mengunggah beberapa info terkini soal situasi Papua lewat akun twitternya. Salah satunya soal penahanan 20 warga di Merauke.
“Saya belum pernah jumpa dengan perempuan Indonesia yang berani ‘pasang badan’ untuk bangsa Papua seperti dia, berani mati. Sosok seperti dia dulunya hanya saya jumpa dalam artikel biografi pejuang perempuan di seluruh dunia, seperti Rosa Luxemburg, Laila Khalid, yang gigih dan berani memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas,” ungkap Jefri Wenda terkait pembelaan Koman.
Wenda menuturkan kesan mendalamnya saat Vero ada di depan pada momen setelah deklarasi FRI WP pada 29 November 2016.
Waktu itu AMP dan FRI WP melakukan aksi terpusat di Jakarta, 1 Desember 2016, dengan mobilisasi massa dari Jawa dan Bali, didukung mahasiswa-mahasiswa Indonesia dari Ternate, Ambon dan Morotai.