Veronica Koman: Provokator Bagi Polisi, Malaikat Bagi Rakyat Papua

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 09 September 2019 | 13:42 WIB
Veronica Koman: Provokator Bagi Polisi, Malaikat Bagi Rakyat Papua
Veronica Koman (memegang poster paling depan) ikut dalam aksi tidur di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus Paniai Berdarah Desember 2014. [Jubi/Zely A]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - “Aparat kepolisian itu Orwellian. Memainkan bahasa untuk mengaburkan represifitas, padahal dalam KUHAP tidak ada istilah ‘pengamanan’, yang ada ‘penangkapan’” kata Veronica Koman, awal Desember 2018.

Saat itu, Veronica diminta Jubi.co.id—media massa daring berbasis di Papua—meminta pendapatnya soal kasus-kasus penangkapan para demonstran di Papua yang selalu disebut aparat keamanan sebagai ‘pengamanan’.

Veronica Koman, sering dipanggil Vero, kini dijadikan tersangka oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur. Sedikitnya tiga delik disangkakan kepadanya: UU ITE, Pasal 160 KUHP soal penghasutan, dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Veronica Koman - (Facebook/Dandhy Dwi Laksono)
Veronica Koman - (Facebook/Dandhy Dwi Laksono)

Kali ini polisi tidak pakai eufemisme atau penghalusan bahasa. Veronica dituding provokator, ditetapkan buron, dan polisi meminta bantuan Interpol untuk menemukannya di luar negeri. Terakhir, akun rekening banknya terancam diblokir, paspornya mau dicabut.

Tiba-tiba seorang Vero dianggap berbahaya bagi Jakarta.

Saat Jubi.co.id maupun Suara.com meminta tanggapan atas status hukum terbarunya itu, pengacara publik muda perempuan ini memilih diam. Telepon dari Suara.com pun ditolak, tak seperti biasanya.

Pembela HAM alih-alih provokator

Vero ditetapkan menjadi tersangka pada 4 September 2019, beberapa hari setelah delapan aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) ditahan atas dugaan makar.

Perempuan muda itu menjadi orang non-Papua kedua setelah Paulus Surya Anta Ginting, koordinator Free West Papua, yang dijadikan tersangka makar terkait masalah Papua.

Baca Juga: Polda Jatim Surati Mabes Polri Buru Veronica Koman di Luar Negeri

Veronica dituduh menyebarkan hoaks melalui akun media sosial pribadi dan memprovokasi insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, 16-17 Agustus 2019.

“VK adalah orang yang aktif membuat provokasi, di dalam maupun luar negeri untuk menyebarkan hoaks, dan provokasi,” kata Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan saat gelar perkara, Rabu (4/9) pekan lalu.

Di antara bukti yang mendasari keputusan penyidik Polda Jatim menjadi Vero sebagai tersangka adalah cuitan di akun twitter @VeronicaKoman. Luki menyebut, twit Veronica memuat provokasi dan informasi yang tidak benar.

Amnesty International Indonesia, Rabu (4/9), menganggap tindakan Polda Jatim mempersangkakan Koman justru memutasi masalah yang sebenarnya bersumber dari ujaran rasial dalam pengepungan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 lalu.

Penetapan Vero sebagai tersangka juga dinilai mengaburkan masalah yang memicu gelombang unjukrasa antirasisme, yaitu kebijakan Polda Jatim menggunakan kekuatan berlebihan di asrama mahasiswa Papua.

Apabila informasi Veronica Koman dianggap tidak akurat, kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, polisi semestinya memberikan klarifikasi, bukan malah menetapkan aktivis itu sebagai tersangka.

”Penetapan tersangka tersebut menunjukkan pemerintah dan aparat negara tidak paham menyelesaikan akar permasalahan Papua yang sudah lebih dari dua minggu ini menjadi pembicaraan publik,” ujar Usman dalam keterangan pers di Jakarta.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga juga mengkritik penetapan Veronica Koman dan Surya Anta sebagai tersangka makar.

Wakil Ketua Komnas HAM itu mengatakan alih alih dijadikan tesangka, Koman dan Surya seharusnya justru masuk dalam deretan pembela HAM atau human right defender yang harus dilindungi.

“Dalam kasus ini, Surya dan Vero sejak di LBH Jakarta membela teman-teman Papua. Jadi harus dilihat bahwa posisi mereka memang sebagai human right defender. Pembela HAM di dalam mekanisme PBB itu harusnya mendapat perlindungan yang lebih dari negara. Karena mereka berperan dalam pemajuan hak asasi manusia,” lanjutnya.

Membela HAM minoritas

Veronica Koman, selain pernah tercatat sebagai pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, juga bekerja sebagai pengacara yang mengadvokasi isu minoritas dan kelompok rentan, pencari suaka. 

Pada 2016, Veronica pernah tergabung dalam tim kuasa hukum yang mengajukan sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) untuk mendesak pemerintah membuka dokumen laporan Tim Pencari Fakta kasus Munir, aktivis HAM yang dibunuh pada dekade 2000-an.

Veronica juga pernah getol menolak pemidanaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), saat mantan Gubernur DKI Jakarta itu dibui karena kasus penodaan agama.

Orasinya saat demo menuntut pembebasan Ahok malah sempat berujung pada pelaporan dirinya ke polisi pada Mei 2017. Pelaporan itu buntut dari orasinya yang menyebut “rezim Jokowi adalah rezim yang lebih parah dari rezim SBY.”

Orasi Veronica memicu amarah Mendagri Tjahjo Kumolo dan menyatakan akan memaksa Veronica “Meminta maaf secara terbuka kepada Jokowi.”

Bahkan, Tjahjo sempat menyebarkan data pribadi Veronica ke sebuah grup WA wartawan. Tindakan Tjahjo itu menuai protes dari banyak aktivis.

Dicintai Papua

Di Timika, penghujung Mei 2019 lalu, perempuan ini sibuk mendampingi dua tahanan politik Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Sem Asso dan Yanto Awerkion, yang dituding makar.

Dia juga salah satu pengacara yang tergabung dalam Pengacara HAM Papua dan mengirimkan somasi kepada Kapolres Mimika atas tuduhan menduduki Sekretariat KNPB Mimika secara ilegal.

Vero, bersama kolega-koleganya di LBH Jakarta memulai advokasi HAM Papua sejak akhir 2014 saat pecahnya kasus Paniai berdarah 8 Desember 2014.

Kemudian dia juga aktif,  mendampingi mahasiswa/mahasiswi Papua dalam berbagai demonstrasi damai. 

Setelah memilih menjadi pengacara publik diluar LBH pun Vero tetap melanjutkan advokasinya terhadap orang-orang Papua yang dipaksa berhadapan dengan hukum Republik Indonesia.

Jefri Wenda, mantan ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kali pertama mengenalnya saat Vero telibat advokasi aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), pada 1 Desember 2015.

“Sejak persiapan aksi 1 Desember di Jakarta saya mengenal dia. Sejak itu dia selalu ada buat kami,” kata Wenda kepada Jubi Minggu, 8 September 2019.

“Saat kami berhadapan dengan situasi yang teramat sulit dalam aksi-aksi damai di Jakarta, saat Polda Metro Jaya menolak surat pemberitahuan aksi, mengadang aksi karena tidak ada surat izin, menangkap dan membubarkan aksi, disitulah Veronica Koman hadir sebagai pendamping hukum kami,” papar Wenda.

Veronica seperti malaikat yang tanpa cela, Wenda bilang Vero selalu ‘pasang badan’ di depan barisan aksi untuk bernegosiasi, berdialog dengan pihak kepolisian demi kelancaran aksi.

“Tidak pernah tidak, dia selalu ada untuk kami, bahkan hingga saat ini,” ujarnya.

Terkait isu Papua, Vero kerap bersuara keras di media soal pelanggaran HAM di Papua dan menjadi bagian tim pembela hukum aktivis-aktivis Papua hingga kekinian.

Ia juga menjadi salah satu dari puluhan pengacara dalam pengajuan uji materi pasal-pasal makar di KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017.

Saat pemerintah RI memblokir internet di Papua pada 23 Agustus 2019, Veronica bersama Jeniffer Robinson (advokat Inggris) menyurati Pelapor Khusus PBB David Kaye dan Komisi Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR).

Keduanya mengingatkan pemblokiran itu mempersulit jurnalis dan aktivis HAM memantau situasi dan kekerasan di Papua.

Seusai penetapannya jadi tersangka, Veronica masih sempat mengunggah beberapa info terkini soal situasi Papua lewat akun twitternya. Salah satunya soal penahanan 20 warga di Merauke.

“Saya belum pernah jumpa dengan perempuan Indonesia yang berani ‘pasang badan’ untuk bangsa Papua seperti dia, berani mati. Sosok seperti dia dulunya hanya saya jumpa dalam artikel biografi pejuang perempuan di seluruh dunia, seperti Rosa Luxemburg, Laila Khalid, yang gigih dan berani memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas,” ungkap Jefri Wenda terkait pembelaan Koman.

Wenda menuturkan kesan mendalamnya saat Vero ada di depan pada momen setelah deklarasi FRI WP pada 29 November 2016.

Waktu itu AMP dan FRI WP melakukan aksi terpusat di Jakarta, 1 Desember 2016, dengan mobilisasi massa dari Jawa dan Bali, didukung mahasiswa-mahasiswa Indonesia dari Ternate, Ambon dan Morotai.

“Saat aksi kami diadang oleh ratusan aparat berseragam lengkap, disitulah Vero hadir sebagai pendamping hukum untuk aksi kami. Ketika kami dipaksa membubarkan diri oleh pihak polisi, kami bertahan, walau aparat mulai menggunakan water cannon untuk menyemprot massa aksi agar bubar. Berkali-kali kami disemprot, namun massa aksi (Papua dan non-Papua) tak gentar dan menari. Kami lalu ditahan, termasuk saya dan Surya Anta, di Polda Metro Jaya,” kenang Wenda sambil menyebutkan bagaimana Veronica tetap mendampingi mereka hingga dibebaskan.

“Itu pengalaman yang tidak bisa saya lupa, berjuang, bergandengan tangan dengan kawan-kawan Indonesia dan pendamping hukum yang keras kepala terhadap pemerintah namun baik hati terhadap rakyat tertindas,” papar Wenda menutup pembicaraan. [Zely Ariane]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI