Pemekaran Papua Dinilai Cuma Transaksi Politik Elite Eksploitasi Alam

Reza Gunadha Suara.Com
Kamis, 31 Oktober 2019 | 13:56 WIB
Pemekaran Papua Dinilai Cuma Transaksi Politik Elite Eksploitasi Alam
Presiden Jokowi di Wamena. (Dok Setpres)

"Bukan ada aspirasi mendadak muncul kemudian satu pemekaran langsung diberikan," katanya.

Pemekaran, tutur Leo, harus melalui persiapan sosial yang matang.

"Satu daerah harus disiapkan dulu, ditetapkan kemudian dipersiapkan untuk jangka waktu 5 tahun begitu, dipersiapkan insfrastrukturnya."

"Tapi yang paling penting adalah dipersiapkan sumber daya manusianya supaya ketika itu dimekarkan, kita tidak memakai tenaga dari Jawa, dari lain-lain tempat yang ke Papua untuk mengisi posisi-posisi yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat adat Papua."

Sekretaris Dewan Adat Papua ini bahkan menuding Indonesia sama sekali tidak konsisten untuk melaksanakan amanat Undang-Undang.

"Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengamanatkan pemekaran itu bukan kewenangan Pemerintah pusat."

"Kewenangan itu diusulkan melalui masyarakat lewat MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) baru dibawa ke pemerintah pusat," jelasnya.

Sementara itu, Kepala LP3BH (Lembaga, Peneliteian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum) Manokwari, Yan Warinussy, mengatakan ia tak melihat adanya relevansi antara akar masalah di Papua -salah satunya mengenai perbedaan pemahaman mengenai sejarah integrasi dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang terjadi -dengan ide pemekaran tersebut.

"Soal pemekaran sesungguhnya sudah diatur dalam amanat pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus (otonomi khusus) bagi Provinsi Papua."

Baca Juga: Wamen PUPR Sebut Jokowi Komitmen Menyelesaikan Masalah di Papua

"Tapi dalam faktanya selalu dilanggar oleh Pemerintah Pusat sejak zaman Presiden Megawati yang mengeluarkan Inpres (instruksi Presiden) untuk mengaktifkan Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat) berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 1999," papar Yan kepada ABC ketika dihubungi.

Ia mempertanyakan dasar hukum rencana pemekaran ini beserta mekanismenya.

Yan juga menyebut pemekaran ini, jika benar disahkan, tidak akan membawa perbaikan bagi aspek hak asasi manusia di Papua dan bagi hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan sumber daya alam.

Datang dari atas

Pengamat Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengingatkan jika merujuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pemekaran di provinsi paling timur tersebut harus memperoleh persetujuan dari Majelis Rakyat Papua.

"Nah karena itu, kalau pemekaran ini kemudian datangnya dari atas, tidak melalui DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua), tidak melalui Gubernur dan tidak melalui MRP, itu hanya akan menambah masalah baru," utaranya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI