Kemudian ia menanggapi respons pemerintah Indonesia terhadap risetnya. “Menurut saya adanya kasus yang terlewat bukanlah suatu penghinaan, karena setiap negara mungkin saja mengalaminya,” ujarnya.
Baginya penelitian ini hanya sebuah red flag, sebuah kondisi di mana kita patut waspada dan tanggapi.
“Dan seperti yang sering saya katakan ke banyak orang fungsi public health adalah untuk menemukan potensi masalah dan memperingati pihak yang mungkin akan terkena dampaknya, tidak berarti potensi masalah tersebut akan selalu jadi kenyataan, tapi sudah sepatutnya kami memberi alarm,” ujarnya.
Sekali lagi, ia menjelaskan bahwa dirinya tidak bermaksud konstrukstif, ia mengatakan diinya sangat terbuka dengan sharing dan tak keberatan membantu jika dibutuhkan. “Dan ini sama sekali tidak bermaksud menyerang negara manapun.”
Hanya Indonesia yang merespons negatif soal risetnya
Lebih lanjut Profesor Marc mengatakan dirinya tidak menyangka akan ada respons seperti itu soal risetnya. Apalagi dalam pernyataan Menkes Terawan, Indonesia ‘tidak menutupi sesuatu’ soal angka positif corona di Indonesia.
“Sejak awal, saya tidak mengantisipasi respons seperti itu. Karena kami tidak bermaksud mengatakan bahwa Indonesia sedang menutupi sesuatu,” ujarnya.
Selain Indonesia ada dua negaranya yang berada di bawah 95 persen Prediction Interval (PI)-nya seperti Thailand dan Kamboja, namun mereka tidak merespons temuannya.
“Saya belum pernah mendengar respons apapun dari negara lain selain Indonesia (terkait riset saya),” ujarnya sambil tersenyum.
Baca Juga: Hari Keempat Penerapan PSBB, Kepadatan Lalin Terjadi di Sejumlah Ruas Jalan
Ia juga mengaku sejak awal merasa bingung terhadap pemberitaan media massa Indonesia yang ia baca.
Ia juga mempertanyakan metode yang digunakan Indonesia saat itu, yang ia pahami bahwa saat risetnya selesai, Indonesia kala itu sedang menanti alat test dari China, dari mana Indonesia bisa mendapatkan hasil nol persen kasus.
“Yang saya pahami dari media sebenarnya cukup membingungkan, bahwa test kit waktu itu belum sampai ke Indonesia hingga akhir dari periode penelitian kami. Jadi jika hal itu benar dan tes kit adalah satu-satunya alat uji di Indonesia, maka ini bukan bentuk cara menutupi melainkan kurangnya alat tes uji,” ujarnya.
Ada pula cara deteksi lain yang tidak menggunakan test kit, misalnya menggunakan metode sequencing. “Mungkin saja sebelum adanya test mereka menggunakan metode sequencing, dan saya tidak tahu harus berkomentar apa mengenai hal tersebut. Namun hal itu memungkinkan orang-orang dites sebelumnya.
“Jika benar (Indonesia saat itu memakai metode sequencing), Anda harus melakukan banyak sekali test uji dan masyarakat harus datang secara volunteer untuk diuji, karena banayak sekali langkah yang harus dilakukan sebelum Anda dapat mendeteksi,” ujarnya.
Meski ia menganggap hasil risetnya kala itu cukup akurat, namun Profesor Marc menganggap risetnya bukan yang paling akurat, mungkin saja meleset.