Surat 3 Terdakwa Kasus Anarko dari Penjara: Kami Sudah Sangat Tersiksa

Rabu, 24 Juni 2020 | 22:42 WIB
Surat 3 Terdakwa Kasus Anarko dari Penjara: Kami Sudah Sangat Tersiksa
Ketiga terdakwa kelompok Anarko menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, Senin (15/6/2020). [Foto: Bantennews.com]

Suara.com - Rizki Julianda, M Riski Rianto, dan Rio Emanuel, tiga terdakwa kasus vandalisme yang dicap polisi sebagai bagian dari kelompok Anarko menyampaikan perlakuan yang diterima mereka sejak ditangkap hingga berada di dalam Rutan Polres Tangerang.

Surat itu ditulis oleh Rio dan Riski di secarik kertas yang disampaikan kuasa hukum mereka dari LBH Jakarta.

"Kami sudah ditahan berbulan-bulan, diisolasi tidak boleh bertemu keluarga," tulis Rio mengawali suratnya.

Dalam surat itu, Rio mengaku dirinya diintimidasi oleh pihak kepolisian, surat penangkapan yang diminta mereka pun tidak bisa ditunjukkan polisi.

"Saya meminta surat penangkapannya, namun tidak tertulis nama kami. Riski dan Aflah langsung diborgol disuruh duduk, wajahnya dipukuli. Setelah itu, kami dibawa ke Polres Tangerang. Di sana kami dipaksa untuk BAP," lanjut Rio.

Mereka menolak dan meminta pendamping hukum dari Lembaga Bantuan Hukum datang untuk mengurus semuanya, namun polisi menjawab “Sudah malam” dan “Tuhkan pasti LBH”.

Setelah itu, Riski juga dipaksa mengakui bahwa uang yang dimilikinya merupakan uang hasil suruhan vandalisme.

"Riski dipisah, ia dipukuli, ditendangi, ia punya uang cash sekitar Rp 2 juta. Ia dipaksa mengakui bahwa uang itu adalah uang suruhan. Setelah itu, kami dipaksa tes urin, diawasi dan sempat dipukul double stick karena tidak kencing-kencing," ungkapnya.

Sesudah itu, Mereka dibawa ke TKP tempat vadalisme, selama di mobil polisi pemukulan terus terjadi hingga berakhir di Polres Tangerang untuk diperiksa.

Baca Juga: 3 Terdakwa Kelompok Anarko Jalani Sidang Perdana di PN Tangerang

Selama diperiksa, mereka terus mengalami intimidasi, kepala ditutup plastik hingga susah nafas dan dada dipukul agar mau mengaku bahwa mereka dibayar.

"Sesudah itu, kami dibawa ke rumah masing-masing, di mobil Polisi bilang 'Kalau di rumah ga boleh ngomong sedikit pun', borgolnya juga ditutupin. Pertama ke kafe Saya, disana ada HP Bagas, Saya dipaksa mengakui kalau itu HP saya," ucapnya.

Sesampainya di rumah, polisi mengambil baju dan almamater mereka diambil, termasuk motor di kafe, dompet, KTP difoto dan diviralkan di media.

"Wajah kami yang difoto Polisi disebarkan. Masuk media dengan isi berita yang tidak adil, kami menanggung sakitnya menjadi kambing hitam," tutur Rio.

Meski begitu, dia mengakui vandalisme yang mereka lakukan hanyalah bentuk kritik terhadap pemerintah yang mereka khawatirkan kurang baik dalam menangani pandemi virus corona covid-19, bukan untuk mengajak orang menjarah.

Intimidasi fisik itu terus terjadi hingga mereka dibawa ke Unit 3 Kamneg Polda Metro Jaya, mereka kemudian dipaksa menggunakan pengacara dari Polda saja yang bernama Halim.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI