Suara.com - Koalisi Pemantau Peradilan mendorong jajaran Pemerintah dan DPR agar serius membahas pembaharuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kebijakan Alternatif Pemidanaan Non Pemenjaraan dalam RKUHP untuk Pengarusutamaan Restorative Justice, dan Reformasi Kebijakan Narkotika dengan Menggunakan Pendekatan Kesehatan.
Pasalnya, menurut ICJR, banyak kasus pemidanaan oleh penegak hukum yang salah sasaran dan dipaksakan, sehingga lembaga pemasyarakatan ever kapasitas.
"Pemerintah dan DPR segera melakukan pembaruan KUHAP dan perbaikan sistem peradilan pidana serta memastikan judicial control/oversight yang lebih baik untuk mencegah penggunaan penahanan secara eksesif," kata Erasmus A.T. Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR dalam siaran pers, Selasa (14/7/2020).
Kondisi buruk Lapas kembali terungkap. Kali ini dibeberkan oleh Surya Anta, yang pernah menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rumah Tahanan atau Rutan Salemba, Jakarta Pusat melalui cuitan di akun twitter-nya.
Surya Anta membeberkan kondisi buruk di Rutan Salemba mulai dari kondisi pemenuhan hak dasar WBP yang tidak memadai, yaitu hak atas makanan hingga hak atas kesehatan. Juga terjadinya praktik perdagangan gelap narkotika hingga komodifikasi untuk pemenuhan fasilitas layak di dalam Lapas.
Kondisi ini dilaporkan pada masa sebelum pandemi Covid-19, sebelum pihak Kementerian Hukum dan HAM memberlakukan kebijakan percepatan asimilasi dan pembebasan bersyarat pada WBP untuk pencegahan penyebaran virus corona.
Temuan ini tidak mengejutkan, tetapi tetap memprihatinkan, karena kondisi ini terus terjadi tanpa adanya solusi menyeluruh. Hal ini jelas terjadi seiring dengan overcrowding Rutan dan Lapas yang terjadi terus menerus tanpa solusi yang komprehensif.
Sebagai catatan, sebelum kebijakan pelepasan WBP untuk pencegahan penyebaran Covid-19, per Maret 2020 jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal kapasitas Rutan dan Lapas hanya dapat menampung 132.335 orang. Kesimpulannya beban Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 204 persen.
Sayangnya, solusi atas permasalahan tersebut tidak komprehensif dan hilang timbul.
"Pemerintah tidak begitu memperhatikan bahwa pangkal permasalahan kondisi overcrowding adalah kebijakan pemidanaan di Indonesia," ujarnya.
Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2017 telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam lampiran Permenkumham tersebut, dinyatakan bahwa upaya penanganan overcrowding juga harus dilakukan dengan melakukan perubahan kebijakan dan mereformasi paradigma penghukuman yang kental dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Permenkumham ini menyoroti budaya praktis aparat penegak hukum yang secara eksesif melakukan penahanan terhadap Tersangka/Terdakwa dalam masa persidangan. Per Maret 2020, jumlah tahanan di Rutan/Lapas di Indonesia menyumbang 24 persen dari jumlah penghuni.
Hal ini disebabkan oleh adanya paradigma penegak hukum bahwa penahanan merupakan suatu keharusan. Padahal KUHAP menyediakan mekansime lain, misalanya tahanan kota, tahanan rumah atupun mekanisme penangguhan penahanana.
Baca Juga: Sengketa Pers Bukan Tindak Pidana: ICJR Kirim Amicus Curiae Kasus Diananta
Untuk penahanan Rutan, KUHAP pun sudah menyatakan bahwa seorang Tersangka 'dapat' dikenai penahanan, dan bukan 'harus' dikenai penahanan. Sikap seperti ini yang dikritik Permenkumham ini.
"Pola pikir praktis seperti ini sangat berdampak pada isi hunian di Lapas dan Rutan, karena semakin tinggi penghukuman dengan menggunakan media penahanan maka semakin tinggi jumlah hunian dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tersedia atau lazim disebut overcrowded," terangnya.
Erasmus menambahkan, KUHAP dalam ketentuan mengenai penahanan membatasi syarat dilakukannya penahanan berdasarkan dua syarat, yakni syarat objektif dan subjektif. Sayangnya, syarat subjektif penggunaannya sangat bergantung dari penilaian aparat penegak hukum.
Apabila aparat penegak hukum berpendapat bahwa pelaku akan melarikan diri, maka penahanan dapat dilakukan. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan ketiadaan mekanisme untuk mempertanyakan dipenuhinya syarat subjektif ini, karena pra-peradilan hanya terbatas memeriksa perihal administratif dan hanya dapat dilakukan apabila ada gugatan dari pihak yang haknya terlanggar.
Selain kritik terkait dengan penggunaaan penahanan yang eksesif, Permenkumham No. 11 tahun 2017 tersebut juga menaruh catatan terhadap kondisi minimnya alternatif pemidanaan dalam sistem peradilan pidana saat ini. Kritik tersebut juga disampaikan untuk beberapa rumusan dalam RKUHP.
Visi undang-undang di Indonesia yang bernuansa penjara sesungguhnya adalah alasan sederhana mengapa Indonesia menghadapi permasalahan kondisi overvrowded pada rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan. Sebagai contoh lain, dalam Rancangan KUHP yang saat ini dibahas di DPR, hampir semua ancaman pidana meningkat drastis, beberapa di antaranya bahkan dapat mengakibatkan over kriminalisasi yang berujung pemenjaraan dan berbuah overcrowded. Sebut saja semisal pidana penghinaan yang ancamannya dalam RKUHP mencapai 5 tahun penjara atau pidana zina yang juga mencantumkan pidana penjara 5 tahun pula.
Dalam Naskah Akademik RKUHP, perumus berkomitmen untuk menghadirkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan untuk menghilangkan dampak destruktif dari pemenjaraan. Namun sayangnya, hingga draft RKUHP September 2019, keberadaan alternatif pidana baru nampaknya tidak akan berdampak positif dalam menangani masalah overcrowding, dengan jumlah yang sangat minim dan banyaknya syarat yang harus diberlakukan.
Tidak hanya terkait dengan penggunaaan penahanan yang eksesif dan minimnya alternatif pemidanaan non-pemenjaraan, Permenkumham No. 11 Tahun 2017 tersebut secara jelas mengkritik adanya kebijakan narkotika yang punitif dengan mengatakan bahwa kebijakan ini akan berdampak pada masalah pemenuhan hak kesehatan penghuni Lapas.
Maka sudah bisa ditebak tingginya jumlah pengguna narkotika sangat berpengaruh terhadap jumlah Tahanan/Narapidana kasus penyalahgunaan narkotika yang masuk ke dalam Lapas/Rutan, meskipun tempat terbaik yang dibutuhkan mereka adalah pusat rehabilitasi.