Warga Adat Besipae Dianiaya Satpol PP, Ini Kata Komnas Perempuan

Reza Gunadha Suara.Com
Sabtu, 17 Oktober 2020 | 14:35 WIB
Warga Adat Besipae Dianiaya Satpol PP, Ini Kata Komnas Perempuan
Konflik Agraria NTT, komunitas adat Baseipae jadi korban. (Twitter/@BPANusantara)

Suara.com - Komisi Nasional Perempuan menilai, aksi kekerasan Satpol PP yang masih berlanjut di Desa adat Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, menunjukkan ketidakmampuan Pemprov Nusa Tenggara Timur menyelesaikan konflik hutan Pubabu Besipae secara partisipatoris.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Sabtu (17/10/2020), mengatakan pihaknya menyesalkan terjadi kekerasan berulang terhadap sejumlah ibu dan remaja perempuan yang beredar melalui video yang terjadi di desa itu pada Rabu (14/10) lalu.

"Sebenarnya kami sudah mengirimkan Surat Rekomendasi Komnas Perempuan atas konflik itu kepada Gubernur NTT dan DPRD NTT pada 24 Juni lalu. Namun kami memperoleh informasi tentang perkembangan penyelesaian konflik di desa itu tidak sejalan dengan rekomendasi Komnas Perempuan," katanya.

Hal ini, katanya, terbukti pada Rabu (14/10) lalu kembali terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui video yang beredar ramai.

Tak hanya itu, pihaknya juga mendapatkan laporan bahwa terjadi penggusuran paksa terhadap 29 kepala keluarga, terdiri dari 34 laki-laki, 50 perempuan, di antaranya terdapat 6 orang Lanjut Usia (lansia), 48 anak-anak, 6 bayi dan 2 Ibu Hamil, dan 6 orang Ibu Menyusui.

Penggusuran paksa ini menyebabkan warga, khususnya perempuan dan anak-anak ketakutan, dan kecewa atas proses penggusuran dengan cara-cara kekerasan.

Warga yang tidak mengetahui harus ke mana untuk berteduh, dan kehilangan harta benda rumah tangganya selanjutnya mendirikan bangunan sebagai tempat hunian sementara.

Dalam pengungsian tersebut warga membutuhkan ketersediaan air bersih, bahan makanan, perlengkapan sanitasi, obat-obatan, pakaian dan layanan kesehatan khususnya untuk balita dan ibu hamil.

Kekerasan yang terjadi saat ini merupakan kekerasan berulang- berlanjut dari konflik kepemilikan lahan dan pengelolaan SDA Hutan Besibae dan penggusuran paksa terhadap penduduk yang telah lama tinggal secara turun temurun di kawasan hutan tersebut.

Baca Juga: Aparat Banting Anak-anak dan Aniaya Ibunya, Komnas HAM Surati Gubernur NTT

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menegaskan hubungan hak atas tanah dengan hak-hak lainnya.

Pemenuhan hak atas tanah memiliki tautan yang luas pada pemenuhan hak-hak lainnya, seperti hak atas pemenuhan pangan yang layak, hak atas air, hak untuk tidak digusur, dan hak lainnya.

Dalam konteks pandemi COVID-19, pemerintah daerah juga wajib melakukan kebijakan pencegahan penularan COVID-19 terhadap penduduk Pubabu di antaranya memberikan hunian, pangan dan lingkungan yang layak.

"Oleh karena itu kami meminta agar kekerasan terhadap perempuan dan anak di Besipae yang terus berulang ini harus dihentikan. Para pihak, khususnya Pemerintah Daerah harus mengedepankan penyelesaian nir kekerasan dalam kasus konflik hutan Pubabu," katanya.

Komnas perempuan juga merekomendasikan beberapa hal terkait kasus itu di antaranya, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) turut serta dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pubabu.

Selain itu DPRD NTT memastikan penyelesaian konflik hutan adat Pubabu-Besipae diselesaikan secara partisipatoris dan komprehensif dengan mengacu pada hak konstitusional warga negara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI