Masalah yang disebabkan oleh pandemi dan presiden yang tidak menentu menambah masalah sistemik jangka panjang, menurut OSCE, banyak di antaranya merugikan kaum miskin dan etnis minoritas, seperti berbagai persyaratan bukti identitas di TPS, yang menurut laporan tersebut terlalu membatasi bagi sebagian pemilih.
"Jika satu-satunya hal yang mungkin dapat Anda gunakan adalah kartu mahasiswa dan Anda bukan mahasiswa, atau SIM dan Anda tidak mengemudi, atau paspor dan Anda tidak pernah bepergian ke mana pun, Anda dapat membayangkan bahwa orang yang kurang beruntung secara ekonomi akan terpengaruh secara tidak proporsional, dan etnis minoritas tertentu dapat dikecualikan," jelas Gacek.
Laporan tersebut juga merujuk pada pencabutan hak suara untuk sebagian masyarakat yang sedang menjalani hukuman dan mantan narapidana.
"Diperkirakan 5,2 juta warga dicabut haknya karena hukuman pidana, meskipun sekitar setengah dari mereka telah menjalani hukuman mereka." sebut laporan.
"Pembatasan suara ini melanggar prinsip hak pilih universal," laporan itu menyimpulkan.
Gacek mengatakan, dana darurat federal USD 400 juta atau setara Rp 5,7 triliun untuk penyelenggara pemilu negara bagian, tidak mencukupi dan kekurangan itu datang dari pihak swasta.
Mark Zuckerberg dari Facebook dan istrinya, Priscilla Chan, menyumbang USD 400 juta batau setara Rp 5,7 triliun.
"Tapi ketika Anda melihat 14 miliar dolar (Rp 200 triliun) yang telah dihabiskan untuk kampanye, dan Anda membandingkannya dengan pemerintahan yang harus bergantung pada dermawan untuk membantu mereka menjalankan pemilihan, saya pikir itu menarik," kata Gacek.
Baca Juga: Pemilu AS: Sarah McBride Jadi Senator Transgender AS Pertama