Di Bawah Joe Biden, Bisakah Kebijakan AS di Timur Tengah Dibatalkan?

Rabu, 20 Januari 2021 | 23:16 WIB
Di Bawah Joe Biden, Bisakah Kebijakan AS di Timur Tengah Dibatalkan?
DW

Suara.com - Kebijakan Trump di Yaman, Irak, dan Afrika Utara di ujung masa jabatannya menuai banyak kritik. Saat Biden mengambil alih, apakah kebijakan tersebut bisa dibatalkan?

Selama dua minggu terakhir, pemerintahan Donald Trump telah memperkuat serangkaian rencana kebijakan luar negerinya di Timur Tengah.

Pekan lalu, Amerika Serikat (AS) menetapkan Houthi, sekutu Iran di Yaman, sebagai organisasi teroris dan menjatuhkan sanksi pada seorang pejabat militer Irak serta beberapa organisasi Iran.

Pada akhir tahun lalu, AS mengakui kedaulatan penuh Kerajaan atas seluruh wilayah Sahara Barat.

Semua keputusan Trump ini bertujuan untuk mengasingkan Iran dan meningkatkan kuasa Israel di wilayah tersebut.

Namun langkah ini juga menuai banyak kritik. 'Konsekuensi yang sangat mengganggu' "Sebelum masa pemerintahan habis, segala kebijakan (Trump) memiliki konsekuensi yang sangat mengganggu," tulis analis di kelompok pemikir kebijakan Crisis Group yang berbasis di Brussels.

Memasukkan Houthi sebagai organisasi teroris berpotensi menghambat badan kemanusiaan di Yaman, yang kini masih dilanda perang, kata mereka.

Keputusan tersebut bisa menimbulkan "kelaparan skala besar yang belum pernah terjadi selama hampir 40 tahun," kata seorang pejabat PBB.

Sementara itu, kantor luar negeri Irak menggambarkan sanksi AS yang diberikan kepada pejabat Irak, Faleh al-Fayyad, pekan lalu sebagai langkah yang "tidak dapat diterima dan mengejutkan."

Al-Fayyad adalah kepala paramiliter lokal yang dikenal sebagai Pasukan Mobilisasi Populer. Sanksi seperti ini "memancing reaksi dari sistem politik Irak, mungkin memaksa pasukan asing [AS] keluar dari Irak," analis Sajad Jiyad memperingatkan sebelumnya dalam ringkasan kebijakan Juli 2020. 'Trump memainkan politik dalam negeri dengan kebijakan luar negeri'

Pengakuan AS atas kedaulatan Maroko atas Sahara Barat pada bulan Desember lalu merupakan salah satu sengketa teritorial terpanjang di dunia, dengan banyak negara menyatakan tidak ketidaksetujuannya.

Kebijakan Trump ini dicurigai sebagai ucapan 'terima kasih' Amerika kepada Maroko karena secara resmi membangun kembali hubungan dengan Israel.

Mantan penasihat keamanan nasional Presiden Donald Trump, John Bolton, menyebutnya sebagai "sikap hormat yang serampangan" dan "pendekatan transaksional yang telanjang" dalam sebuah artikel untuk majalah Kebijakan Luar Negeri pada pertengahan Desember.

"Ini adalah upaya Trump memainkan politik dalam negeri dengan kebijakan luar negeri sampai akhir (masa jabatan) yang pahit," kata Julian Barnes-Dacey, Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.

"Saat waktu terus berlalu, ada upaya untuk memberi energi pada basis politik mereka dan mungkin memperkuat semacam warisan. Mereka mencoba untuk mengunci AS ke arah tertentu, untuk mencegah Biden membalikkan keputusan," jelasnya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI