Suara.com - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM, Zaenur Rohman menyebut Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia merosot pada 2020, tak lepas dari peran rezim Presiden Joko Widodo yang merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Indonesia kini berada diperingkat 102 dari 180 negara di tahun 2020. Dimana turun tiga poin dari 40 di tahun 2019. Dan ditahun 2020 kini mendapatkan 37 poin.
"Ini menunjukkan akumulasi dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi," kata Zaenur kepada suara.com, Jumat (29/1/2021).
Zaenur tak mempungkiri bahwa IPK masih memiliki sejumlah kelemahan. Namun, IPK ini menjadi acuan disetiap periode sebelumnya. Ataupun, negara-negara yang ingin mengetahui apakah korupsi dinegaranya naik atau turun .
"Itulah kegunaan dari IPK untuk melihat apakah situasi pemberantasan korupsi itu semakin membaik atau semakin memburuk," ujarnya.
Maka itu, Zaenur menilai jebloknya IPK Indonesia 2020 akibat ulah Pemerintah dan DPR RI merevisi UU KPK. Tanpa mendengar kritikan sejumlah tokoh pengiat anti korupsi maupun masyarakat luas.
"Ini satu dampak secara langsung bahwa semenjak revisi UU KPK itu, KPK tidak lagi efektif memberantas korupsi. Dukungan masyarakat terhadap KPK juga menurun," tuturnya.
"Keberanian pihak-pihak yang selama ini memanfaatkan situasi untuk melakukan tindak pidana korupsi juga kemudian naik," imbuhnya.
Akibat revisi UU KPK juga berdampak dengan menurunnya penindakan yang dilakukan lembaga antirasuah.
Baca Juga: IPK Indonesia 2020 Turun, Istana Klaim Jokowi Tegas Berantas Korupsi
Kemudian, faktor lainnya, yakni kemunduran demokrasi yang terjadi di Indonesia. Dimana, kebebasan berpendapat juga semakin turun.