“Kebanyakan nasabah pintar berdalih. Licin juga,” katanya.
Jika nasabah terus menerus berkelit, terkadang mereka terpaksa menggunakan strategi tekanan psikologis. Misalnya, debt collector bilang kepada nasabah tersebut jika tetap tidak mau memenuhi kewajiban sesuai komitmen, akan dibawa ke ranah hukum.
Ada yang resmi dan tak resmi
Otoritas Jasa Keuangan mengizinkan perusahaan pembiayaan bekerjasama dengan pihak ketiga untuk mengurus penagihan, tetapi dengan persyaratan yang ketat.
Syaratnya, di antaranya pihak ketiga mesti memiliki badan hukum, mempunyai izin dari instansi berwenang serta SDMnya telah tersertifikasi.
Tetapi semenjak muncul pandemi Covid-19, penggunaan jasa debt collector tidak diizinkan, terutama untuk sejumlah bidang yang diberikan keringanan penangguhan pembayaran kredit: pekerja sektor informasi, UMKM, ojek daring sampai penerima KUR.
Dari pengalaman Debro, debt collector yang tidak resmi (tidak tersertifikasi) akan menemui kesulitan dalam menjalankan kewajiban mereka.
Debt collector legal selalu dibekali dengan kartu identitas dan dokumen-dokumen penunjang yang dikeluarkan oleh instansi berbadan hukum.
“Jadi ketika dia menagih, orang yang ditagih tahu, tahu namanya siapa, dari PT mana. Dan kalau nanti ada pelanggaran hukum (dalam proses menagih) bisa cepat ditindak orang (debt collector) yang nakal itu,” kata Debro.
Baca Juga: Kisah Penjaga Lahan Sengketa: Tak Cuma Modal Berani, Tapi Juga Kecerdikan
Di lapangan, menurut cerita Debro, ada kalanya terjadi praktik penggunaan jasa penagih utang ilegal dan karena dalam menjalankan tugas dengan cara yang “sembarangan,” nama baik debt collector resmi menjadi ikut tercemar.