Regulasi Penarikan Kendaraan Bermotor oleh Debt Collector, Tidak Boleh Sembarangan

M Nurhadi Suara.Com
Rabu, 11 Juni 2025 | 18:59 WIB
Regulasi Penarikan Kendaraan Bermotor oleh Debt Collector, Tidak Boleh Sembarangan
Ilustrasi Debt Collector
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di media sosial, kita seringkali menyaksikan video atau berita mengenai penarikan paksa kendaraan bermotor, baik mobil maupun motor, oleh penagih utang atau debt collector. Fenomena ini tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat yang melakukan pembelian kendaraan secara kredit. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana sebenarnya aturan hukum terkait penarikan kendaraan yang menunggak cicilan?

Prosedur penarikan kendaraan bermotor dengan kredit bermasalah sesungguhnya telah diatur secara gamblang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang ini menjelaskan bahwa fidusia merupakan bentuk pengalihan hak kepemilikan suatu benda berdasarkan kepercayaan, namun benda tersebut tetap berada dalam penguasaan pemilik awal. Lebih lanjut, Pasal 15 dari UU tersebut menegaskan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia harus memuat frasa "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Frasa ini memberikan kekuatan eksekutorial pada sertifikat fidusia, yang artinya memiliki kekuatan hukum yang setara dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, jika debitur cidera janji atau wanprestasi, penerima fidusia (yaitu pihak kreditur) berhak untuk menjual objek jaminan fidusia tersebut atas kekuasaannya sendiri.

Perbedaan Penafsiran dan Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi

Meskipun Pasal 15 UU Jaminan Fidusia telah ada, terjadi perbedaan penafsiran mengenai proses eksekusi atau penarikan jaminan fidusia, khususnya kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah. Ada pihak yang menafsirkan bahwa proses penarikan harus melalui jalur pengadilan, sementara pihak lain berpendapat bahwa berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, kreditur dapat melakukan penarikan sendiri atau secara sepihak. Penafsiran yang kedua inilah yang seringkali menjadi pemicu terjadinya penarikan paksa kendaraan bermotor oleh debt collector di lapangan.

Untuk menciptakan keseragaman pemahaman terkait eksekusi jaminan fidusia, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 pada tahun 2019. Putusan ini diharapkan dapat menjadi panduan yang jelas dalam praktik penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya macet. Beberapa poin penting dari putusan tersebut antara lain:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

Baca Juga: Apakah Bisa Ajukan Pinjol di 4 Aplikasi Sekaligus? Begini Aturan Resmi OJK

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Implikasi Putusan MK dan Persyaratan Penarikan Kendaraan

Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah dikeluarkan, implementasi di lapangan masih menunjukkan adanya perbedaan penafsiran. Sebagian pihak berpendapat bahwa putusan ini semakin memperjelas kewajiban eksekusi atau penarikan melalui pengadilan, sementara pihak lain masih meyakini bahwa eksekusi atau penarikan langsung oleh kreditur atau debt collector tetap diperbolehkan, asalkan telah ada kesepakatan terkait cidera janji dan kesepakatan penyerahan jaminan fidusia atau kendaraannya.

Kendati demikian, satu hal yang telah disepakati adalah bahwa proses eksekusi atau penarikan kendaraan oleh debt collector harus memenuhi beberapa persyaratan penting. Untuk memastikan legalitas dan menghindari penarikan paksa yang merugikan, debt collector wajib dilengkapi dengan:

  1. Sertifikat Fidusia: Dokumen ini adalah bukti otentik adanya jaminan fidusia atas kendaraan tersebut.
  2. Surat Kuasa atau Surat Tugas Penarikan: Dokumen ini membuktikan bahwa debt collector memiliki legitimasi dari pihak kreditur untuk melakukan penarikan.
  3. Kartu Sertifikat Profesi: Menunjukkan bahwa debt collector yang bertugas adalah tenaga profesional yang terdaftar.
  4. Kartu Identitas: Sebagai bentuk transparansi dan verifikasi identitas debt collector di lapangan.


Meskipun telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, praktik eksekusi atau penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah masih menyisakan perbedaan pendapat terkait teknis pelaksanaannya. Penting bagi masyarakat untuk memahami hak-hak mereka dan mengetahui bahwa penarikan kendaraan harus dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Jika Anda menghadapi situasi penarikan kendaraan, pastikan debt collector yang bertugas melengkapi diri dengan dokumen-dokumen yang sah seperti yang telah disebutkan di atas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI