Sedangkan kerentanan berikutnya, dapat ditinjau dari bagaimana penduduk adat Baduy tinggal. Dalam satu rumah, biasanya, dihuni lebih dari lima orang. Situasi berkerumun ini jelas membuka peluang untuk terciptanya klaster baru. Sekali virus tiba di kawasan Baduy, maka penyebarannya bisa lebih cepat.
“Mereka itu, kan, kolektifnya tinggi. Mereka melakukan banyak hal bersama-sama. Sejauh interaksi itu masih terjadi, maka masih punya peluang tertular. Covid-19 ini airbone disease. Kita sakit, ngobrol aja, maka keluarga bisa terjangkit. Apalagi kondisinya ada di dalam ruangan,” tutur Irma.
Penelitian Ahmed Goha dkk. menyebutkan bahwa walaupun posisi masyarakat adat rentan di masa pandemi, jalan untuk menghindarkan mereka dari bencana yang lebih besar bukannya tidak ada. Hasil riset Ahmed dkk. menerangkan pemerintah bisa meningkatkan mitigasi dan pengawasan. Selain itu, membatasi pergerakan manusia juga wajib dilakukan, di samping memastikan akses ke fasilitas kesehatan tak terganggu.
Rencana di atas memang terdengar menjanjikan, bila implementasinya juga tepat sasaran serta ditempuh secara efektif. Persoalannya, di Indonesia, kenyataan soal masyarakat adat jauh lebih rumit dari yang dibayangkan. Pandemi bukan satu-satunya masalah yang hadir di tengah-tengah mereka. Sebelum pandemi, masyarakat mesti berhadapan dengan konflik lahan, geliat pembangunan yang eksploitatif, hingga berbagai beleid hukum—UU Cipta Kerja dan UU Minerba—yang pro-pebisnis. Sengkarut itu lantas menempatkan masyarakat adat pada posisi yang rentan, dan pandemi hanya kian memperburuknya.
“Namanya daya lenting itu, kan, seperti karet: punya daya tahan maksimal. Yang terjadi sekarang ini [pandemi] ibarat menghadapi benda baru dari luar dan tidak dikenal. Cara menghadapinya, misalnya, ada empat bentuk. Masalahnya, empat bentuk itu tidak lagi terpenuhi oleh alam. Kayu ditebang, perusahaan sawit di mana-mana. Tidak mungkin efektif lagi. Prasyaratnya sudah tidak ada,” tegas Rukka.
Pencapaian nol kasus Covid-19 yang muncul di Baduy menegaskan bahwa masyarakat adat, sejauh ini, masih mampu bertahan. Yang belum—dan sepertinya sulit—untuk dijawab: bertahan sampai kapan?
--------------------------------------------------
Project Multatuli adalah sebuah inisiatif jurnalisme yang ingin melayani publik dengan mengangkat suara-suara dipinggirkan, komunitas-komunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang disisihkan.
Project Multatuli adalah jurnalisme nonprofit, menyajikan laporan mendalam berbasis riset dan data, dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Kerja-kerjanya menekankan kolaborasi antarmedia maupun dengan berbagai organisasi yang meyakini nilai-nilai yang sama dengan kami: demokrasi, kemanusiaan, keadilan sosial, keberlanjutan bumi, dan kesetaraan hak.
Baca Juga: Asal Usul Seba Baduy, Tradisi Ratusan Tahun Sejak Kesultanan Banten