Dalam keterangannya, Damar Panca menyampaikan gelombang penolakan Omnibus Law - UU Cipta Kerja tidak hanya dalam bentuk aksi unjuk rasa di jalan raya.
Penolakan berupa kampanye juga turut tersiar di beberapa jejaring media sosial seperti Twitter, Instagram, hingga YouTube.
"Banyak sekali, mungkin hampir semua serikat buat status di media sosial. Protes melalui media sosial lah," ungkap Damar Panca di ruang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sementara itu, Nur Hidayati menyampaikan, Walhi turut menggelar aksi unjuk rasa dalam menolak Omnibus Law - UU Cipta Kerja.
Dia berpendapat, pembahasan Omnibus Law - UU Cipta Kerja sangat tertutup. Bahkan, partisipasi masyarakat sipil seperti petani, buruh, hingga masyarakat adat tidak dilibatkan.
Baik Nur Hidayati dam Damar Panca mengakui, aksi unjuk rasa dari sektor buruh dan aktivis lingkungan berjalan dengan tertib.
Bahkan, tidak terjadi keonaran seperti pembangkangan masyarakat sebagaimana dakwaan yang dilayangkan kepada Jumhur Hidayat buntut cuitannya di Twitter.
"Kami selalu melakukan aksi sebagaimana dalam prosedur. Kami lapor ke polisi hingga tetap menerapkan prokes. Kami aksi mandiri kurang lebih dua kali, selain itu dengan koalisi masyarakat sipil," beber Nur Hidayati.
Didakwa sebar hoaks
Baca Juga: Kamis 20 Mei, Kubu Jumhur Hidayat Hadirkan Saksi Ahli yang Sangat Penting
Sebelumnya, Jumhur didakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran melalui cuitannya di Twitter soal UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Lewat cuitannya itu, Jumhur juga dianggap membuat masyarakat menjadi berpolemik. Hal tersebut berimbas kepada aksi unjuk rasa pada 8 Oktober 2020 di Jakarta dan berakhir ricuh.
Dalam dakwaan itu, Jumhur dijerat dengan dua pasal alternatif. Pertama, dia dijerat Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari UU RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.