Suster, Bolehkah Aku Bunuh Diri? Pandemi Ancam Kesehatan Jiwa Warga

Reza GunadhaABC Suara.Com
Kamis, 12 Agustus 2021 | 16:43 WIB
Suster, Bolehkah Aku Bunuh Diri? Pandemi Ancam Kesehatan Jiwa Warga
ILUSTRASI - Sejumlah anak menyaksikan pertandingan sepak bola di kawasan Petamburan, Jakarta, Senin (9/8/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wabah covid-19 tidak hanya berdampak pada orang yang dinyatakan positif, tapi juga warga secara umum. Di Indonesia, banyak dari mereka yang merasa tertekan, sehingga kesehatan jiwanya terancam.

"Suster, aku takut mati, tapi jika enggak kuat, boleh bunuh diri kah suster?"

Itu adalah sepotong kalimat dalam pesan yang dikirimkan Omar Fahd, seorang perancang busana di Tangerang, Banten, kepada seorang biarawati melalui Instagram.

Akhir Juni lalu, Omar dan tujuh orang lain di rumahnya terpapar COVID-19. Dalam tiga minggu, empat di antaranya meninggal dunia.

Ini adalah kedua kalinya Omar terpapar COVID-19, meski ia sudah divaksinasi.

"Keadaan saya udah enggak bisa ngerti apa-apa, karena saya juga mau membantu [tapi] dalam keadaan yang enggak bisa ngapa-ngapain," kata Omar.

Ia mengatakan itu adalah salah satu kesulitan yang ia hadapai,  saat ingin mengurus kematian, tapi untuk bisa berdiri pun ia tidak bisa.

Omar juga mengaku di saat menahan rasa sakit secara fisik, ia juga memendam rasa bersalah telah menularkan COVID-19 di rumahnya.

"Mental saya jatuh karena terlalu banyak yang meninggal di samping saya, sampai semua orang takut sama kita."

Baca Juga: Satgas Akui Data Pandemi Covid-19 di Indonesia Masih Bermasalah

Kecemasan di kalangan penyintas COVID-19

Selama pandemi, jumlah pasien dr Santi Yuliani, spesialis kejiwaan di RS Jiwa Prof. DR. Soerojo, Magelang bertambah hingga 30-40 persen.

Pasien-pasien yang ditanganinya adalah mereka yang terdampak kondisi pandemi, termasuk para enyintas COVID-19.

"Paling banyak kasusnya adalah kasus insomnia, gangguan tidur," kata dr Santi.

"Diikuti dengan kondisi gangguan panik atau panic attack, kemudian gangguan cemas menyeluruh atau generalised anxiety disorder, dan ada campuran antara cemas dan depresi, itu yang paling mendominasi."

Menurutnya adalah banyak pula pasien COVID-19 dengan gejala sedang dan berat yang mengalami trauma.

"Karena mereka paralysed [lumpuh], pernah merasakan betul-betul tidak bisa, betul-betul hopeless [tidak ada harapan], bernapas aja harus dibantu alat, itu kan benar-benar luar biasa buat mereka, dan traumatising [menimbulkan trauma] banget," ujar dr Santi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI