Suster, Bolehkah Aku Bunuh Diri? Pandemi Ancam Kesehatan Jiwa Warga

Reza GunadhaABC Suara.Com
Kamis, 12 Agustus 2021 | 16:43 WIB
Suster, Bolehkah Aku Bunuh Diri? Pandemi Ancam Kesehatan Jiwa Warga
ILUSTRASI - Sejumlah anak menyaksikan pertandingan sepak bola di kawasan Petamburan, Jakarta, Senin (9/8/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Sementara pasien penyintas COVID-19 cenderung merasa cemas, karena takut tertular lagi atau mendapat stigma dari orang-orang sekitarnya, bahkan perasaan bersalah.

"Jadi dia merasa dirinya sebagai pembawa virus ke rumah, apalagi kalau misalnya dia OTG kemudian orangtuanya yang ada di rumah sakit berat, mereka biasanya [sikap] menyalahkan diri sendirinya kuat banget," katanya.

Diberitakan Kompas, pada 9 Juli lalu, seorang pria di Bekasi, Jawa Barat ditemukan meninggal dunia di rumahnya saat melakukan isolasi mandiri dengan dugaan bunuh diri.

Jumat lalu (06/08) pasien RS Murni Teguh di Medan Timur juga "melakukan upaya merusak kunci jendela dan mengeluarkan sebagian badannya keluar dan terkesan ingin menjatuhkan dirinya ke bawah", menurut keterangan rumah sakit tersebut.

Hasil survei oleh Penelitian Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDKSJI) tahun 2020 menunjukkan dari 4.010 responden, kelompok usia 18-29 tahun adalah yang memiliki "pikiran kematian terbanyak" akibat pandemi.

Beban berat tambahan bagi anak muda

Meski pandemi sudah berlangsung selama lebih dari setahun, baru dalam sebulan terakhir Niken Mawar merasakan dampak pada psikologisnya.

"Jadwal tidur saya jadi berantakan ... saya suka tiba-tiba nangis pas dua minggu pertama [PPKM] dan itu tidak cuma terjadi malam, kadang lagi nonton atau bengong tiba-tiba nangis," ujar Niken yang berusia 24 tahun.

Niken berharap untuk mendapatkan pekerjaan di bidang yang sesuai dengan mata kuliahnya yaitu psikologi.

Namun, hingga detik ini, belum ada satu pun kabar dari ratusan lamaran pekerjaan yang dikirimkannya.

Baca Juga: Satgas Akui Data Pandemi Covid-19 di Indonesia Masih Bermasalah

"Saya jadi merasa tambah tertekan, gampang overthinking, apalagi mikirin masalah karir, rencana-rencana yang sudah saya bikin jadi berantakan," kata Niken yang sempat berkonsultasi dengan psikolog.

"Kehidupan sosialnya juga terhambat, jadi gampang ngerasa kesepian dan harus adaptasi sama pola komunikasi yang baru."

Menurut dr Santi pandemi memahami kondisi seperti yang dialami Niken.

"Ini tuh berat untuk anak muda. Dari mereka yang biasa hangout, punya aktualisasi diri di luar, dan kemudian mereka harus menghentikan segalanya dan harus tinggal di dalam rumah," katanya.

Belum lagi bagi anak muda yang kehilangan jam kerja atau pekerjaannya yang membuat stabilitas perekonomiannya terganggu.

"Ini stressor sendiri, karena anak-anak muda ini lagi memulai hidup, bayar cicilan, kemudian harus nabung, menyisakan sebagian uang untuk rekreasi ... dan ini tidak terjadi, tidak bisa dilakukan, karena pekerjaan mereka jamnya dikurangi," kata dr Santi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI