Suara.com - Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang, Provinsi Banten yang sejauh ini menewaskan 41 orang mencuatkan persoalan menahun tentang penghuni yang melebihi kapasitas ruang penjara.
Menkumham Yasonna Laoly meyakini revisi Undang Undang Narkotika akan bisa mengurangi jumlah narapidana narkotika yang selama ini mendominasi ruang tahanan di Indonesia.
Namun, para peneliti hukum menilai langkah ini tak menjamin bakal mereduksi narapidana di penjara. Pada bagian lain, sistem peradilan di Indonesia dinilai masih menjadikan penjara sebagai ruang penghukuman.
Baca Juga:
- Mengunjungi Rutan Bagansiapiapi, penjara terpadat se-Indonesia yang kelebihan kapasitas 800%
- 'Tidak ada sinar matahari' untuk napi geng di penjara El Salvador
- Kisah narapidana perempuan membesarkan anak di dalam penjara: 'Masa anak disia-siakan?'
Dwi Astuti, 53 tahun, sedang jualan kue keliling, tiba-tiba tetangganya menghampiri dengan wajah panik.
"Saya kaget, kok tiba-tiba tetangga lihat TV, saya lagi jualan dicari sama tetangga," kata Dwi saat memeriksa keselamatan anaknya yang menjadi narapidana narkotika di Lapas Kelas I Tangerang, Banten, yang terbakar dini hari, Rabu (08/09).
"Saya orang nggak punya om. Saya ke sini juga minta antar sama orang," tambah Dwi kepada wartawan Muhammad Iqbal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Alhamdulilah," kata Dwi, anaknya selamat dari kobaran api yang menewaskan puluhan narapidana lainnya. Kabar itu ia dapatkan dari pihak lapas. Namun, ia masih belum bisa bertemu langsung dengan anaknya karena "nggak boleh dulu".
Tapi nasib lebih buruk dialami Upi, 44 tahun. Anaknya yang baru beberapa bulan masuk Lapas Kelas I Tangerang, tewas bersama puluhan narapidana lainnya.
"Ya kita harapkan pas tadi dengar [beritanya] pengennya selamat, sampai sini beritanya yang lain," tambah Upi.
Baca Juga: Kebakaran Lapas Tangerang, LBH: Buruknya Tata Kelola dan Keamanan Bagi Warga Binaan
"Terakhir komunikasi jam 9 malam. Minta pulsa dia, 'ibu minta pulsa dong Iki'. Besok uang jajan Iki potong sudah," kata Upi yang menambahkan, selama ini dia bisa berkomunikasi dengan anaknya pagi dan malam setiap hari yang selnya berada di Blok C.
Upi bersama suaminya langsung bergegas ke RS Polri di Kramat Jati, Jakarta dari Lapas Kelas I Banten dengan sepeda motornya untuk proses identifikasi lebih lanjut.
Penjara bagian Blok C 2 adalah bagian yang paling parah terdampak dari kebakaran yang sejauh ini diduga karena "arus pendek listrik", menurut Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan data sementara, 41 orang tewas dalam peristiwa ini, delapan lainnya mengalami luka berat, dan 72 luka ringan. Kebakaran diperkirakan terjadi sekira pukul 01:45, dan dipadamkan petugas pukul 03:15 WIB.
Pemerintah revisi UU Narkotika
Kebakaran hebat yang menyebabkan puluhan korban jiwa ini membuat tingkat hunian penjara yang melebihi kapasitas di Indonesia kembali menjadi sorotan.
Kemenkumham mencatat Lapas Kelas I Tangerang idealnya dihuni 900 narapidana, akan tetapi kenyataannya sebanyak 2.069 narapidana mendekam di sini.
"Permasalahan overkapasitas adalah permasalahan klasik," Menteri Yasonna Laoly mengakui dalam keterangan kepada pers usai mengunjungi sisa kebakaran di Lapas Kelas I, Tangerang.
Ia meyakini persoalan ini disebabkan dominasi narapidana kasus narkoba di penjara-penjara. Saat ini jumlahnya mencapai 50% dari total narapidana di seluruh Indonesia. Sisanya adalah kasus-kasus lain seperti teroris, pembunuhan, dan pencurian.
"Maka penanganannya adalah penanganan narkotika," kata Yasonna.
Pihaknya telah mengajukan revisi UU Narkotika yang menjadi sumber "hulu" narapidana narkotika. Revisi UU No.35/2009 ini masuk prolegnas dan semestinya mulai dibahas Rabu, (08/09) atau bertepatan di mana hari lapas terbakar.
"Ada persoalan di UU Narkotika, yang membuat, contoh pemakai, ini kan pemakai, kita berharap supaya direhab [rehabilitasi]. Strateginya begitu, kalau semua kita masukan di lapas, nggak muat," tambah Yasonna.
Saat ini diperkirakan terdapat lebih dari empat juta pengguna narkoba. Sebanyak 270.000 narapidana sudah mengisi lapas, "itu [saja] sudah mabuk kepayang".
Menambah penjara baru
Selain itu, pemerintah juga berencana membangun penjara-penjara baru untuk mengurai kepadatan hunian.
Menko Polhukam Mahfud MD berencana membangun penjara yang lebih manusiawi di atas tanah sitaan kasus BLBI.
Hal tersebut disampaikan Mahfud MD seusai berkomunikasi dengan Menkumham Yasonna Laoly membahas soal kelebihan kapasitas lapas di Indonesia.
"Dan itu tidak terlalu sulit, tinggal kami nanti mencari anggarannya," ujarnya Mahfud MD, kepada wartawan, Rabu (08/09)
Sejauh ini pemerinta telah menngambil 49 lahan yang tersebar di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Tangerang. Totalnya mencapai 5.291.200 m2.
Kata Mahfud MD hal ini sudah dibicarakan beberapa kali dengan pihak Kemenkumham.
"Saya juga dengan Pak Reynhard [Dirjen PAS] ini juga sudah berkunjung ke daerah-daerah tertentu untuk melihat betapa Lembaga Pemasyarakatan itu sudah tidak kondusif," tambah Mahfud MD.
Tak ada jaminan
Kriminolog FISIP Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin mengakui adanya problematika dalam UU Narkotika. Dalam hal ini, kata dia, regulasi tersebut tak mampu untuk memisahkan antara pengguna, pemilik dan pengedar narkoba.
Dalam hal ini ketentuan tafsir yang termuat dalam UU Narkotika bisa membuat penyalahguna dan pengguna ditarik menjadi pengedar dengan hukuman lebih berat.
"Saya mendukung penuh revisi itu [UU Narkotika], terutama dalam hal memastikan bahwa mereka-mereka yang berdasarkan asesmen adalah pengguna. Itu mestinya mereka tidak dipenjara," kata Iqrak kepada BBC News Indonesia, Rabu (08/09).
Hukuman alternatif selain penjara yang bisa digunakan adalah kerja sosial, pidana pengawasan, pidana denda, rehabilitasi dan rawat jalan bagi pengguna narkoba.
Bagaimanapun, revisi UU Narkotika tak menjamin sepenuhnya tingkat hunian penjara akan berkurang. "Jadi tidak ada jaminan. Bisa jadi dalam konteks narkotika kita selesai. Tapi bagaimana dengan yang lain," kata Iqrak.
Yang lain dimaksud Iqrak adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan tanpa disertai unsur kekerasan, seperti pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan yang termuat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. "Itu terlalu berlebihan," katanya.
Evaluasi sistem peradilan
Selain itu, menurut Iqkrak, persoalan utama hunian penjara selalu melebihi kapasitasnya dikarenakan cara bekerja polisi, jaksa dan hakim dalam memproses sebuah perkara hingga putusan. "Ketika orang diputus penjara, maka lapas itu tidak ada kewenangan untuk menolak," katanya.
"Untuk mengurangi overcrowding kita harus evaluasi kembali cara kerja dari sistem peradilan pidana," tambah Iqkrak.
Hal senada dikemukakan peneliti ICJR, Maidina Rahmawati. Menurut kajian dari lembaganya, hukuman penjara 52 kali lebih sering digunakan dibandingkan pidana alternatif lainnya.
"Yang gagal itu sebenarnya aparat penegak hukum untuk meneruskan, ataupun untuk bisa memastikan bahwa [hukuman alternatif] itu diterapkan," kata Maidina kepada BBC News Indonesia.
Selain itu, Iqrak dan Maidini juga sepakat penambahan penjara baru bukanlah solusi atas persoalan padatnya hunian di penjara.
Maidina menambahkan, jika sistem peradilan masih banyak menggantungkan pada putusan hukuman pidana penjara, maka jangan harap hunian penjara yang telah menjadi masalah menahun akan teratasi, meski saat ini menelan puluhan korban jiwa.
Bagaimana suasana dalam penjara padat
Surya Anta adalah mantan tahanan politik yang dituduh berbuat makar dalam aksi protes di depan Istana Negara pada 2019 lalu. Selama menjalani proses tahanan di rutan Salemba, Jakarta, ia menggambarkannya seperti adegan "pengungsi perang dengan kondisi darurat".
Saat berada di ruang penampungan yang berisi 420-an narapidana, hanya tersedia dua toilet. "Orang buang air besar di situ, mandi di situ, cuci piring di situ," kata Surya Anta.
Selain itu, ada satu masa ia harus tidur miring dan "kakinya harus menekuk kayak udang" karena ruangan sudah tidak mampu lagi menampung manusia.
Bagi tahanan yang ingin membuat kopi atau memasak mie instan, harus memasak air dengan plastik-plastik bekas bungkusannya.
"Nah itu asapnya jadi bikin orang sakit ISPA di dalam. Saya pernah juga sakit karena itu," tambah Surya Anta.
Ia meyakini kondisi tersebut masih lebih baik dari rutan atau lapas yang ada di luar Jakarta. "Seperti itulah yang bisa kita bayangkan," katanya.