Mencari Kritik di Ujung Demokrasi

Jum'at, 26 November 2021 | 13:48 WIB
Mencari Kritik di Ujung Demokrasi
Ekspresi Mural. (Dok: Kominfo)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

"Jika kritik dimaknai sebagai bagian demokrasi, maka tidak boleh mengabaikan elemen-lemen yang mendasarinya. Sebut saja di antaranya kepatuhan hukum, etika, dan estetika demi menjaga ketertiban sosial," kata Deputi IV Bidang Informasi dan Komunikasi Politik Juri Ardiantoro di laman situs daring KSP.

Juri meyakini, mural-mural yang sengaja ditebarkan adalah cermin dari perbuatan yang justru keluar dari ketiga unsur tersebut karena menganggu ketertiban sosial dan kepatuhan hukum, minim nilai-nilai etika dan estetika.

"Silakan saja mengungkapkan dan berekspresi untuk membangun demokrasi yang penuh keadaban dan optimisme kita sebagai bangsa," imbuhnya.

Kritik Sosial

Mural adalah kritik sosial yang muncul sebagai ekspresi akibat aspirasi rakyat tersumbat.

Kehebohan kritik sosial terjadi karena tidak tersedia cukup ruang publik untuk berdialog dengan seluruh pemangku kepentingan, khususnya di masa pandemi.

Dalam seni mural yang tampil bermuatan politik, yang perlu dikedepankan adalah etika budaya dan batasan yang perlu dipahami bersama.

"Memang terjadi perdebatan, apakah mural kritik ini boleh atau tidak boleh. Mural bermuatan politik bagi saya ini bagian dari dialog, jangan-jangan karena kita jarang dialog," kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (27/8).

Selain itu, terdapat banyak batas antara etika dan budaya sehingga di suatu wilayah, mural dianggap sebagai kotoran yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Baca Juga: Anies Sebut Jokowi Bukan Penentu Lokasi Sirkuit Formula E, Bamsoet: Salahnya di Mana?

Yang diperlukan adalah kesepakatan antara kearifan lokal dengan kepentingan umum. Sebagai contoh hasilnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI