Suara.com - Upah yang dicuri, eksploitasi, dan perbudakan modern seringkali dilaporkan sebagai skandal di Australia. Tapi ini jadi kejahatan biasa yang dialami para pendatang baru di Australia.
Dalam bentuk interaktif | Bahasa Inggris | Dalam bahasa Mandarin
Sudah bertahun-tahun, Maddy dan James (bukan nama asli mereka) bermimpi pindah ke Australia dan menjadi warga negara Australia, lari dari rezim otoriter dan ketidakadilan di negara asal mereka, China.
Untuk menggapai mimpinya, mereka diperkenalkan dengan seorang agen migrasi di tahun 2017, yang menjanjikan mereka akan mendapat pihak yang dapat memberikan sponsor visa kerja terampil dengan harga AU$100.000 atau lebih dari Rp 1 miliar dan nantinya mereka bisa menjadi 'permanent resident' (PR).
Membayar orang yang bisa memberikan sponsor visa adalah tindakan yang ilegal dalam sistem imigrasi di Australia.
Karena seharusnya sponsor diberikan oleh perusahaan atau pelaku bisnis untuk merekrut pekerja terampil dari luar negeri. Tapi sebaliknya yang sering terjadi adalah 'sponsorship' ini "dijual" oleh para agen migrasi mengatasnamakan perusahaan dan membuat mereka terjerumus pada praktik penipuan.
Banyak imigran yang akhirnya bisa menjadi penduduk tetap atau bahkan mendapat kewarganegaraan Australia dengan cara ini, tapi memilih jalur yang tidak sah membuat mereka beresiko tinggi untuk dimanipulasi dan dieksploitasi.
"Kita datang dari negara yang otoriter, tak pernah menyangka kalau Australia bisa lebih buruk," ujar Maddy.
Untuk bisa mendapat uang sebanyak AU$100.000, dan biaya tambahan lain agar mereka bisa bertahan di Australia, kedua pasangan ini rela menjual semua rumah dan asetnya di China hanya demi pindah ke Australia.
Baca Juga: Ramai Dukungan untuk Sandiaga, Legislator Gerindra Bicara soal Eksploitasi Identitas Ulama
Dengan pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja di sektor pelayanan di China, Maddy mendapat sponsor untuk bekerja sebagai seorang manajer sebuah hotel di Australia pada tahun 2019.
Tapi setibanya di tempat kerjanya, pimpinan Maddy mengatakan jika kemampuan Inggris-nya tidak cukup memadai untuk berada di posisi manajer dan ia malah diminta mengerjakan hal lain.
Hampir setiap harinya, Maddy bekerja mencuci piring, membersihkan kamar, membantu di dapur, melayani tamu hotel, apa pun yang disuruh manajernya.
Ia pun merasa kelelahan, terlalu lelah untuk bangun dari tempat tidur. Suaminya pun mulai membantu pekerjaanya, meski tidak pernah dipekerjakan secara sah di hotel.
Mereka bahkan menyewa kamar di hotel, tapi mereka mengaku harus selalu bersedia bekerja kapan pun dibutuhkan tanpa bayaran tambahan.
Meski gaji mereka dikirim ke akun bank, mereka memberikannya kembali secara tunai kepada manajernya sebagai bagian dari perjanjian, seolah-olah mereka menerima gaji.