Petani Masih Dihantui Konflik Agraria, 80 Persen Terjadi di Sektor Perkebunan

Kamis, 06 Januari 2022 | 21:02 WIB
Petani Masih Dihantui Konflik Agraria, 80 Persen Terjadi di Sektor Perkebunan
ILUSTRASI - Sejumlah petani Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal melakukan aksi di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (28/8)

Suara.com - Sepanjang tahun 2021, setidaknya terjadi 74 kasus konflik agraria pada sektor perkebunan di Indonesia. Hal tersebut termaktub dalam laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berjudul Penggusuran Skala Nasional.

Sebanyak 74 konflik agraria di sektor perkebunan itu terjadi di lahan seluas 276.162,052 hektare dan berdampak pada 23.531 kepala keluarga.

Dari jumlah itu, ungkap Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, 50 persen konflik terjadi di sektor perkebunan sawit dengan rincian 59 kejadian.

Kemudian, tercatat ada empat konflik di perkebunan kelapa, tiga konflik di perkebunan karet, dan satu konflik di perkebunan tebu, bawang, atsiri dan sengon.

"Dari 74 kejadian konflik tersebut, 59 atau 80 persen kasus terjadi di sektor perkebunan sawit dengan luas mencapai 255.006,06 hektar," kata Dewi dalam diskusi secara daring, Kamis (6/1/2021).

KPA mencatat, sektor perkebunan selalu menempati posisi pertama sebagai penyumbang konflik agraria di Tanah Air.

Dalam satu dekade, tepatnya sejak 2012 hingga 2021, sektor perkebunan menjadi penyebab konflik agraria tertinggi setiap tahunnya. 

"Kecuali pada tahun 2014 perkebunan di posisi kedua setelah sektor infrastruktur," sambungnya.

Jumlah konflik itu, beber Dewi, semakin menunjukan tidak adanya perubahan orientasi pengalokasian tanah dalam membangun perkebunan kepada masyarakat dalam sebuah wadah bersama seperti koperasi. 

Baca Juga: Data KPA 2021: Jawa Timur Jadi Provinsi Dengan Kasus Konfilik Agraria Terbanyak

Hal itu juga menunjukan tidak adanya itikad baik dari pemerintah dalam merubah praktik bisnis di sektor perkebunan.

Sebenarnya upaya tersebut bisa dilakukan, kata Dewi, dengan cara mencabut izin dan hak usaha perkebunan yang berdampak buruk. 

"Usaha-usaha perkebunan yang menjalankan usaha yang buruk seperti perampasan tanah, kekerasan dan perusakan lingkungan," papar dia. 

Tingginya konflik agraria pada sektor perkebunan, dalam pandangan KPA, semakin menunjukkan pemerintah tidak mempunyai terobosan dalam menyelesaikan masalah. Karenanya, konflik yang terjadi selalu berulang. 

"Ketiadaan langkah terobosan penyelesaian konflik pada sektor perkebunan yang dapat menjadi kerangka menyeluruh dalam penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan," tegas Dewi.

Akibat pembangunan

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI