Larang Yoga Buat Perempuan Kuwait Picu Perdebatan Soal Kesetaraan Gender

Selasa, 22 Februari 2022 | 16:34 WIB
Larang Yoga Buat Perempuan Kuwait Picu Perdebatan Soal Kesetaraan Gender
DW

Hamdan al-Azmi, anggota parlemen dari kubu konservatif termasuk yang paling gencar mengampanyekan larangan yoga.

Menurutnya, olahraga itu merendahkan kebudayaan Arab dan tidak patut disebut sebagai warisan kebudayaan.

"Jika melindungi perempuan-perempuan Kuwait dianggap terbelakang, saya merasa terhormat dipanggil seperti itu," kata dia.

Rangkaian kebijakan pemerintah yang dbuat dengan dasar agama di Kuwait membuat kelompok perempuan meradang, terutama di tengah absennya perempuan di parlemen dan ketika gelombang pembunuhan demi kehormatan semakin mengkhawatirkan.

Salah satu kasus tersebut adalah pembunuhan terhadap Farah Akbar pada awal tahun 2021 silam.

Dia diseret dari dalam mobilnya dan ditikam berulangkali oleh seorang pria. Meski korban sebelumnya sudah sering melaporkan tersangka pelaku ke polisi, penahanannya tetap ditangguhkan oleh pengadilan dengan uang jaminan.

Tekanan bagi pegiat perempuan Amarah publik terkait pembunuhan Farah akhirnya mendorong parlemen untuk mengamandemen Pasal 153, yang hanya mengancam hukuman kurung tiga tahun atau denda sebesar USD 46 bagi suami yang membunuh istrinya atas dasar "tindakan seksual" atau penyelewengan.

Tapi ketika parlemen didorong menghapus pasal tersebut, komite urusan perempuan meminta fatwa ulama terkait urusan tersebut. Bulan lalu, para ulama akhirnya memfatwakan bahwa Pasal 153 masih harus tetap dipertahankan.

"Kebanyakan anggota parlemen berasal dari sistem yang melihat pembunuhan terhadap perempuan demi kehormatan sebagai hal normal," kata Sundus Hussain, salah seorang pegiat perempuan Kuwait. Sebagian advokat HAM menilai gelombang konservatisme yang menguat di Kuwait mewakili rasa kepanikan terhadap perubahan di masyarakat.

Baca Juga: Arjun Kapoor Lakukan Iyengar Yoga, Ini Manfaatnya untuk Kesehatan

Setahun lalu, pegiat perempuan lokal mulai mengampanyekan gerakan #MeToo untuk melawan kekerasan seksual. Buntutnya para aktivis mendapat ancaman pemerkosaan atau pembunuhan.

"Kerugiannya sangat besar," kata Najeeba Hayat soal pengalamannya mengampanyekan hak perempuan di Kuwait. "Kami tidak bisa keluar rumah tanpa diberhentikan oleh orang atau diganggu," katanya.

Tapi "jika ada aksi protes, saya tetap akan keluar. Jika ada orang yang butuh diyakinkan, saya akan berusaha," kata dia yang segera diamini sejumlah rekan perempuan dengan kepalan tangan di udara. Artikel ini disadur dari tulisan Isabel Debre dan Malak Harb untuk Associated Press. rzn/pkp

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI